Saya sebetulnya tak begitu suka dengan suasana pemilu mahasiswa yang sepi dari dinamika. Suasana pemilu yang terlalu kondusif, bagi saya dikhawatirkan nanti menghasilkan semangat gerakan yang tumpul.

Saya ingin pemilu yang penuh dialektika. Pertukaran ide dan gagasan. Perdebatan ideologis yang berbobot. Ya, minimal, kita bisa mengenang atau mengulang suasana debat-debat bermutu tentang Republik antara Natsir dan Soekarno dalam Sidang Konstituante lah. Walaupun sedikit.

Tapi, setelah melihat beberapa adegan kawan-kawan yang mengatasnamakan satu prodi menarik diri dari pemilu fakultas, bahkan berusaha ‘mengangkangi’ hukum dengan niat membubarkan KPU. Saya jadi terpaksa ikut berpikir lagi.

Di lain fakultas, juga muncul gerakan anti si-A, anti si-B, dia golongan C, dia golongan D. Memaksa orang lain untuk sepakat dengan mereka. Melakukan politik feodal. Mencla mencle mau paksakan kehendak. Takut senior. Senior bilang A, ngikut. Senior bilang B, manut. Demo segelintir orang, lalu mengatasnamakan satu prodi menolak.

Dengan melihat sederet kejadian ini, saya jadi berpikir ulang; apa yang salah dari pendidikan politik mahasiswa di kampus kita?

Bukankah sudah ada jalur hukumnya, jika tak sepakat dengan keputusan KPU? Selesaikan dengan cara yang baik. Tunggu proses gugatannya.

Lalu juga, apa hak Anda melarang orang lain untuk memilih si A, si B, si C ?

Bagi saya, ini bodoh. Maaf jika redaksinya saya buat demikian. Ketidakdewasaan kita berpolitik di kampus ini sudah terlalu parah. Hingga kehilangan akal sehat.

In my opinion. Nggak suka, boleh. Nggak sepakat, boleh. Perbedaan pendapat itu wajar. Lumrah kok dalam iklim demokrasi. Cuma, jangan dilampiaskan dengan cara-cara yang norak. Ngajak orang bubarkan KPU. Ngajak orang jangan pilih si A, B, C, … bla bla bla.

Please, jangan mewarisi benih-benih penjahat politik di republik ini lebih awal. Biarkan politik di kampus ini bebas dari black campaign. Biarkan politik hidup dengan ide dan gagasan. Kalau mau jadi penjahat politik, ya nantilah. Seenggaknya ya nanti kalau sudah lulus dan gabung dalam politik beneran. Tapi, saya gak sarankan lho ya.

Jangan berkata, “Jangan pilih si X, karena dia begini begini. Dari golongan ini, itu, dll.”, Sampe berbusa mulut, sampe pegel tangan karena buat broadcast kotor.

Tapi katakanlah, “Ayo pilih si A, karena ini visinya, ini misinya. Dia punya ide ini, dia punya gagasan ini.”, begitu.

Politik kita harus hidup dengan idealisme. Sebab itulah kemewahan dari status kita sebagai mahasiswa. Seperti kata Tan, “kemewahan terakhir yang dimiliki seorang mahasiswa adalah idealismenya”.

Saya sepakat jika sistem keopmawaan di kampus kita perlu ada perbaikan. Terlebih dalam PO Pemilu. Sorry to say juga, peran lembaga legislatif kita masih belum maksimal, dan hanya dibutuhkan ketika pemilu. Kita juga masih menganut konsep trias politica secara parsial. Lembaga legislatif kita perlu diperkuat.

Apalagi, tingkat partisipasi politik di kampus kita rendah sekali. Dari 25 ribuan mahasiswa, -atau lebih, angka partisipasi tiap tahun juga tidak lebih dari 10 sampai 11 ribu. Artinya, rendah sekali angka partisipasi politik kita, dibawah 50% dari total DPT.

Lugasnya, they don’t care about politics!

Tapi mengangkangi hukum demi nafsu politik juga tak bisa dibenarkan. Kita perlu dewasa dalam berpolitik. Menang, kalah, itu wajar. Lolos verifikasi, tidak lolos, itu juga wajar.

“Leiden is lijden”, kata Pak Roem, mengenang KH. Agus Salim. Memimpin itu menderita.

Bagaimana tak menderita? Mahasiswa yang kasih kalian KTM buat nyalon itu, ada tanggung jawabnya. Ada harapan disana. Mereka mau, dengan terpilihnya kalian nanti, kalian bisa bersuara pada petinggi kampus ini. Supaya hak-hak mereka sebagai mahasiswa terpenuhi, helm mereka di parkiran tak hilang lagi, biaya pendidikan mereka rendah. Harapan mereka, mereka mau tetap kuliah di kampus ini, sekalipun emak-bapak mereka orang miskin dan tak punya uang.

Di hadapan calon pemimpin ini, ada surga atau neraka. Kalau mereka tak amanah, neraka. Pun tak ada jaminan mereka akan memimpin dengan baik.

Lah kita, sampe demo-demo bubarkan KPU. Gerilya tolak salah satu kandidat. Bodohin maba-maba supaya tak pilih si A, B, C. Otot kepala sampe keluar. Bah! Please, jangan!

Saya tak berniat untuk sok tahu urusan kalian. Saya juga pernah gagal kok di pemilu. Tapi. Ayo mikir. Kita tak bodoh kok, kita hanya malas berpikir.

Pesan saya, satu, semoga kalian temenan lagi setelah pemilu ini berakhir. Saya mau ‘semedi’ di goa dulu. Bye!

Ahmad Firdaus
pendekar.literasi@gmail.com

Categorized in: