“UNJ yang sekarang adalah ceminan dari Indonesia saat ini” – Penulis Mosi

Terminologi ini sangat menarik melihat banyak mahasiswa aktivis di UNJ memandang kampus sebagai miniatur suatu negara. Kampus UNJ merupakan tempat di mana berbagai macam pola pikir, ideologi, paradigma, dan berbagai gerakan saling berpadu dalam menjalankan dinamika sosial kampus. Tidak heran berbagai kelompok kampus memunculkan ide untuk melakukan manuver-manuver politik untuk mencapai suatu wadah yang strategis untuk mengkoptasi pergerakan simbolis mahasiswa dalam kampus. Wadah yang tidak sekedar melayani, tetapi mengayomi berbagai elemen-elemen mahasiswa. Secara awam kita melihat bahwa indikator Organisasi Pemerintahan Mahasiswa (Opmawa) yang sangat sederhana adalah adakah rasa percaya kepada opmawa atau sebaliknya, sehingga untuk menganalisis hal tersebut perlu mencari faktor-faktor yang timbul dari permasalahan kegiatan opmawa di UNJ terlepas dari politic interest yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa yang tergabung dalam opmawa.

Sebagai masyarakat intelektual yang ada di dalam kampus, sistem yang demokratis merupakan hal yang wajib diimplementasikan untuk membuka kembali batasan-batasan pemikiran yang membuat cakrawala pandangan terasa sempit. Secara harafiah demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana masyarakat khususnya masyarakat yang ada di UNJ dapat memiliki hak yang setara dalam pengambilan suatu keputusan untuk menentukan langkah ke depan visi-misi UNJ sendiri. Di ranah yang lebih dekat dengan mahasiswa terlihat dari kegiatan-kegiatan opmawa yang melibatkan elemen mahasiswa di luar opmawa seperti kelompok studi, komunitas, mahasiswa rebahan, mahasiswa toxic gaming, mahasiswa nongki santuy, dll. Dari sistem yang membentuk pemikiran yang demokratis, opmawa menghasilkan berbagai produk kegiatan untuk menjalankan demokrasi kampus salah satunya adalah Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira).

Seperti yang dijelaskan sebelumnnya, sistem yang demokratis melibatkan seluruh elemen mahasiswa untuk berpartisipasi dan Pemira adalah produk demokrasi yang dijalankan mahasiswa. Pemira dilakukan dengan tujuan untuk memilih pemimpin baru dari Opmawa untuk regenerasi yang katanya adalah ‘menyerahkan tongkat estafet gerakan’ kepada generasi yang baru. Sederhananya Indonesia sudah ada Pemilu, kita ngekor juga punya Pemira, namanya juga demokrasi. Melalui pengambilan suara, pemimpin dapat dipilih dan ditetapkan menjadi pemimpin baru untuk menjalakan roda pemerintahan dalam bentuk Opmawa. Mereka yang kemudian masuk ke dalam kabinet Opmawa memiliki posisi strategis sebagai social control dan inisiator gerakan kampus.

Pemira UNJ dilaksakan oleh lembaga independen yang disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beranggotakan mahasiswa baik itu Opmawa dan non Opmawa. KPU sendiri memiliki berbagai tingkatan dari KPU tingkat program studi, fakultas, hingga universitas. Sepaket untuk menjalankan Pemira, KPU juga diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) yang terdiri dari Opmawa yang bergerak di bidang legislatif. Namun, masyarakat UNJ khususnya mahasiswa perlu berpartisipasi pula dalam rangka menyukseskan Pemira. Baik menjadi Tim Sukses Calon, anggota KPU, atau pemberi kritik dan saran terkait dengan penyelenggaraan Pemira.

Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa unit KPU dari berbagai tingkatan memiliki beberapa masalah yang tidak boleh dipandang sederhana. Tulisan yang jadi trending untuk kita simak salah satunya adalah “Mosi Tidak Percaya kepada KPU Fakultasku” yang ditulis dari salah satu mahasiswi (saya tidak ingin sebutkan namanya, mohon cari sendiri) yang berasal dari Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Menurut saya, tulisan dari mahasiswi tersebut perlu kita lihat substansi dan data-data yang perlu dipaparkan sehingga kita dapat yakin bahwa tulisan tersebut sreg dengan realita yang ada. Terlepas dari itu semua, penulis mengapresiasi segala bentuk tujuan yang sifatnya adalah memberi kritik dan transparasi permasalahan yang terjadi di suatu kegiatan mahasiswa secara publik sehingga dapat memberi trigger bagi mahasiswa yang lain untuk mengkawal jalannya KPU semua tingkatan.

Secara jurnalistik, tulisan “Mosi Tidak Percaya kepada KPU Fakultasku” tidak memiliki masalah yang berarti. Sistematika penulisan juga sudah rapi. Yang cukup menarik dalam tulisan ini adalah data pendukung berupa PKPU, chat, dan kronologi sudah terlampir di tulisan sehingga hampir tidak memunculkan skeptis pembaca untuk melihat relevansinya. Namun, untuk lebih relevan lagi, perlu ditambahakn data berupa survei ke mahasiswa calon pemilih untuk mengetahui apakah sistem yang dikatakan bermasaslah pada tulisan tersebut berdampak kepada mahasiswa calon pemilih atau tidak. Karena sejatinya tulisan ini secara narasi bertujuan mengajak mahasiswa di FBS maupun dari fakultas lain untuk bergerak bersama mengkawal jalannya KPU sehingga substansi kesadaran massa melihat sistem yang bermasalah benar-benar harus dibangun.

Susbstansi yang perlu di-highlight dalam mosi tersebut adalah point peraturan bagi calon ketua Opmawa Fakultas yang harus pernah menjabat sebagai pengurus Opmawa prodi sebelumnya. Diksi yang dipermasalah adalah “pernah mengurus”. “Pernah mengurus” diartikan sebagai telah menjabat, bukan sedang menjabat. Pertanyaan yang muncul di sini adalah, apakah sudah menjabat itu sudah benar-benar menyelesaikan 1 periode? Atau hanya sekedar “icip-icip” dalam waktu yang lama sebelum menjelang Pemira? Banyak interpretasi yang muncul dari kalangan mahasiswa berbagai daerah fakultas yang menginterpretasi makna RPKPU Fakultas pasal 5 point 1 tersebut. Transparasi dan sosialisasi dari regulasi tersebut juga dibahas dalam mosi tersebut, namun belum memberikan data yang spesifik berupa hasil survei entah dari wawancara, jajak pendapat, dsb. Saya dapat memunculkan skeptis pada tulisan mosi ini. Mosi yang sudah disebar di berbagai sosial media masih bisa diperdebatkan dan di-counter oleh mahasiswa lainnya.

Sebagai bentuk skeptis saya kepada mosi ini, saya mencoba menelisik dari salah satu mahasiswa FBS. Ada yang mengatakan kepada saya bahwa banyak juga pengurus Opmawa sekalipun yang belum memahami regulasinya. Saya mencoba membuka media sosial Instagram milik KPU FBS UNJ di hari dialog kandidat calon ketua FBS. Hal unik yang ditemui di Instagram tersebut adalah penetapan calon kandidat sudah H-3 sebelum dialog kandidat sementara timeline dari pencalonan hingga penetapan ketua BEM baru diunggah pada hari dialog kandidat. Kepala kelakar saya mengatakan “apakah saya harus lulus S3 terlebih dahulu untuk mengatakan bahwa ini adalah sosialisasi yang salah?” atau “harus sebodoh apa saya untuk membiarkan hal ini terjadi?”. Ini merupakan evaluasi yang cukup signifikan dan dapat diterima di berbagai kalangan mahasiswa. Bukan dicarikan suatu pembenaran yang tidak masuk akal untuk dibela.

Andaikata saya boleh menebak, respons KPU, Panwaslu, beserta perangkat Pemira Fakultas yang lain bisa saja melakukan represivitas kepada penulis mosi tersebut. Hal ini membuat demokrasi yang ada di kalangan mahasiswa sangat gak santuy. Sementara kritik dan auto-kritik yang berkembang di ruang akademik antar sesama mahasiswa ditendang dengan sentimen yaitu menarasikan bahwa pengkritik adalah mereka yang menyebarkan kebencian. Kritik dibalas dengan kritik. Frans Magnis-Suseno menyampaikan bahwa kritik itu memiliki sifat yang bisa membangun dan bisa menjatuhkan. Artinya baik dan buruk suatu kritik ditanggapi dengan arif dan bijaksana. Penerima kritik bisa saja menerima, mem-filter, dan menanggapi suatu kritik. Bukan membangun sentimen yang anti kritik.

Alih-alih membuat sentimen, seharusnya kita sebagai masyarakt yang berpartisipasi dalam Pemira ini berfokus dengan performa penyelenggaraan Pemira. Apa yang akan terjadi ketika sistem demokrasi yang kita anut dalam penyelenggaraan Pemira masih membuat kita terbatas untuk memberi kritik? Apakah Opmawa tidak takut akan timbulnya distrust masyarakat UNJ khususnya mahasiswa? Baik saya maupun penulis mosi mengharapkan tidak adanya represivitas pemikiran dan dapat memberikan kritik dalam bentuk apapun sebagai dialektika yang harus kita jaga di kampus. Semakin tinggi intensitas kritik dari masyarakat UNJ seharusnya beriringan dengan tingginya evaluasi dan performa penyelenggara Pemira. Hal ini akan menimbulkan tranparasi yang konkret dan mampu menyentuh berbagai kalangan mahasiswa lainnya sebagai masyarakat intelektual.

Saya menunggu tulisan-tulisan yang dapat meng-counter mosi tersebut karena sejatinya mahasiswa bisa melihat titik kuat dan titik lemah dalam penulisan mosi tersebut. Hal tersebut merupakan bentuk dialektika yang sehat dalam kritik dan auto-kritik baik dari masing-masing pihak. Sejak mahasiswa baru kita diajarkan untuk menumbuhkan sikap skeptis itu sendiri dalam memandang berbagai fenomena, sistem, maupun pemikiran seharusnya memiliki pandangan yang lebih luas untuk menanggapi berbagai hal yang ditangkap di telinga kita. Tulisan inipun sangat terbuka dan berharap diberikan feedback sehingga terbentuklah ruang disksusi yang bisa terjadi di mana saja.

Melawan sesuatu yang salah adalah kewajiban. Melawan dengan tulisan adalah senjata mahasiswa yang masih relevan. Mencari pembenaran atas suatu kesalahan bukanlah suatu alasan. Ruang yang demokratis seharusnya bisa menjadi ruang yang santuy untuk bertukar pendapat, memberi maupun menerima kritik, dan breakdown kembali kesalahan teknis yang cenderung membuat mahasiswa tertekan. Ruang demokrasi publik di ranah mahasiswa harus menjadi kepentingan bersama, bukan menjadi kepentingan politik antar golongan. Mari kita buka kembali esensi kritik dan dialektika dalam berbagai koridor dan ruangan. Tulisan dan mosi ini masih bisa dibantah sehingga jangan kehilangan peluang dan kesempatan. Karena argumen dalam bentuk tulisan masih bisa diberi tanggapan.

Tulisan ini sebagai bentuk apresiasi dan kritik kepada penulis “Mosi Tidak Percaya kepada KPU Fakultasku”. Tulisan ini juga mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi secara bebas dan kritis di ruang akademik kampus.

check the link

Salam Rebahan
Mahasiswa Rebahan Santuy UNJ

Categorized in: