Giant Sea Wall, Yes or No?
Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan media tentang tertangkapnya M. Sanusi yang merupakan Anggota DPRD DKI Jakarta oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sanusi tertangkap dalam operasi tangkap tangan KPK yang menyeret perusahaan pengembang dalam Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta atau yang dikenal pula dengan Proyek Giant Sea Wall. Skandal tersebut semakin mengguncang Jakarta ditengah ramainya dunia perpolitikan menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017.
Terlepas dari hiruk pikuk politik, beberapa kalangan mulai melirik Mega Proyek Giant Sea Wall karena dinilai menyebabkan dampak buruk terhadap lingkungan. Berbagai instansi termasuk kementerian berbondong-bondong berusaha menghentikan mega proyek melalui jalur hukum. Namun, sejauh ini mega proyek terus berjalan.
Apa itu Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta atau Giant Sea Wall?
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 121 Tahun 2012 Tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dikeluarkan oleh Gubernur Fauzi Bowo pada tanggal 19 September 2012 menjelaskan bahwa Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta atau yang dikenal dengan Mega Proyek Giant Sea Wall merupakan proyek pembuatan 17 pulau di kawasan teluk Jakarta. Dalam Peraturan Gubernur tersebut juga tercantum rencana kependudukan, rencana sistem pengelolaan limbah, rencana sistem pembangkit listrik dan ketersediaan air bersih serta berbagai rencana sistem lainnya.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 121 Tahun 2012 juga menjelaskan bahwa tujuh belas pulau tersebut yang diberi nama Pulau A hingga pulau Q dirancang untuk dihuni sekitar 716.700 penduduk dengan batas maksimal penduduk sebanyak 750.000 penduduk. Luas keseluruhan dari 17 pulau mencapai 5153 ha yang terbagi menjadi tiga sub-kawasan yaitu sub-kawasan barat, tengah dan timur. Pulau buatan tersebut nantinya masuk dalam wilayah administrasi Jakarta Utara yang diperuntukan sebagai pusat bisnis dan jasa seperti perhotelan, perkantoran, area wisata dan pusat perdagangan internasional.
Landasan Hukum
Segala sesuatu yang berkaitan dengan reklamasi Pantai Utara Jakarta, telah secara tegas diatur dengan Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Provinsi DKI Jakarta. Keppres No. 52 Tahun 1995 merupakan aturan yang bersifat khusus yang mengatur tentang reklamasi pantai utara Jakarta sebagaimana tercantum dalam Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011. Pada Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 dijelaskan bahwa Gubernur DKI Jakarta diberi kewenangan dalam hal memberikan izin reklamasi. Keppres No. 52 Tahun 1995 juga memberikan kuasa kepada Gubernur DKI Jakarta sebagai Ketua Pengendali untuk membentuk Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta (BP Pantai Utara Jakarta) guna melaksanakan reklamasi pantai utara Jakarta.
Adanya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Propinsi DKI Jakarta ditindaklanjuti oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta. Dalam Peraturan Daerah tersebut dijabarkan lebih rinci mengenai perencanaan reklamasi.
Pada tanggal 19 Februari 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dahulu bernama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Surat Keputusan Menteri tersebut mewajibkan Gubernur DKI Jakarta untuk tidak memberikan izin reklamasi yang mendorong pihak perusahaan pengembang menempuh jalur hukum.
Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 12 PK/TUN/2011 yang diputuskan pada tanggal 24 Maret 2011 secara tersirat menjelaskan terjadinya pertarungan hukum di pengadilan berkaitan dengan Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Pertarungan hukum tersebut terjadi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dahulu bernama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) didukung oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan beberapa lembaga lingkungan hidup lainnya melawan para perusahaan pengembang. Pertarungan berlangsung dari tahun 2003 hingga tahun 2011.
Objek sengketa penyebab pertarungan hukum di pengadilan adalah Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Keputusan tersebut dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup berdasarkan pada temuan Komisi Penilai AMDAL (Analisis dampak lingkungan) yang dibentuk kementerian sejak tahun 1996 hingga tahun 2002. Komisi Penilai AMDAL menemukan bahaya dari adanya reklamasi pantai bagi keberlangsungan ekosistem sekitar serta dampak bagi masyarakat sekitar khususnya para nelayan. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tersebut secara jelas melarang semua pihak dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta sebagai pihak yang berwenang memberikan perizinan proyek reklamasi pantai utara Jakarta untuk tidak memberikan izin bagi para pengembang dalam meneruskan upaya reklamasi. Adanya keputusan menteri tersebut sempat membuat proyek terhambat.
Perusahaan pengembang geram dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003. Mereka kemudian menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta. Pada tanggal 11 Februari 2004, PTUN mengeluarkan Putusan Nomor: 75/G.TUN/2003/PTUN.JKT yang membatalkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.
Kekalahan pada tahap pertama mendorong Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri (PT TUN) Jakarta. Pada tanggal 03 Februari 2005, PT TUN Jakarta mengeluarkan keputusan Nomor: 202/B/2004/PT.TUN.JKT, yang menguatkan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta Nomor: 75/G.TUN/2003/PTUN.JKT.
Kekalahan di tahap pertama dan tahap banding tidak membuat Kementerian Lingkungan Hidup patah arang. Kementerian Lingkungan Hidup kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pada tanggal 28 Juli 2009 mengabulkan kasasi dengan mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109 K/TUN/2006 yang membatalkan Putusan PT TUN Jakarta Nomor: 202/B/2004/PT.TUN.JKT. Sesuai Keputusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut, maka upaya reklamasi harus segera dihentikan.
Namun, perusahaan pengembang yang merasa telah mengeluarkan banyak rupiah untuk proyek segera mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Hingga akhirnya Mahkamah Agung memenangkan kubu perusahaan pengembang dengan dikeluarkannya Keputusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 pada tanggal 24 Maret 2011. Keputusan tersebut membalikan keadaan dengan membatalkan putusan kasasi dan mengizinkan royek reklamasi Pantai Utara Jakarta untuk tetap dilanjutkan.
Dalam Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 dijelaskan bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Propinsi DKI Jakarta. Mahkamah Agung menyatakan bahwa berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1995, Menteri Negara Lingkungan Hidup tidak memiliki wewenang untuk membatalkan atau menyatakan proyek reklamasi tidak boleh dilakukan. Hal tersebut dikarenakan fungsi Menteri Negara Lingkungan Hidup hanyalah sebagai Anggota Tim Pengarah, yang bertugas mengarahkan Badan Pengendali Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang diketuai oleh Gubernur DKI Jakarta.
Lebih lanjut Mahkamah Agung menjelaskan bahwa dalam hal terdapat kelemahan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), maka yang berwenang menghentikan proyek adalah Presiden RI melalui Peraturan Presiden bukan melalui Keputusan Menteri. Hal tersebut dikarenakan proyek tersebut didasarkan pada dasar hukum Keputusan Presiden yakni Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 yang secara tata urutan perundang-undangan berada di atas Keputusan Menteri sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 yang diputuskan pada tahun 2011 menandakan sekaligus mengukuhkan bahwa Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 tidak bertentangan dengan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri yang berlaku pada tahun 2011. Dengan demikian kewenangan memberikan izin reklamasi pantai utara Jakarta tetap pada Gubernur DKI Jakarta.
Pada tanggal 10 Maret 2008 ditengah proses jalannya persidangan anatara Kementerian Lingkungan Hidup dan perusahaan pengembang; Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pada Lampiran X Penetapan Kawasan Strategis Nasional Angka 20 tercantum bahwa DKI Jakarta termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN).
Pada tanggal 12 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pasal-pasal pada Keppres No. 52 Tahun 1995 sepanjang yang terkait dengan penataan ruang dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Presiden tersebut tidak menggugurkan Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 yang berisi kewenangan Gubernur DKI Jakarta dalam memberikan izin reklamasi karena tidak terkait dengan penataan ruang sebagaimana dikukuhkan pada Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 pada tanggal 24 Maret 2011.
Pada tahun 2012 atau satu tahun pasca dikeluarkannya Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasal 16 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 menjelaskan bahwa menteri Kelautan dan Perikanan diberi kewenangan dalam memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), kegiatan reklamasi lintas provinsi, serta kegiatan reklmasi pada pelabuhan yang dikelola oleh pemerintah pusat.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung memalui keterangan resminya sebagaimana terdapat pada laman resmi Sekretaris Kabinet RI menyatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tersebut secara jelas hanya mencantumkan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) yang menjadi kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam hal izin reklamasi. Dengan demikian reklamasi di pantai utara Jakarta masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah DKI Jakarta mengingat Jakarta tidak masuk dalam Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), melainkan masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebagaimana tercantum dalam Lampiran X poin 20 Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2008 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Maret 2008.
Pada tanggal 12 Januari 2012, Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengesahkan Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Dalam Peraturan Daerah tersebut dijelaskan beberapa hal berkaitan dengan rencana tata kelola, rencana pengembangan kawasan, dan lainnya. Menindaklanjuti Peraturan Daerah tersebut, Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 19 September 2012 mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 121 Tahun 2012 Tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Peraturan tersebut berisi tentang rencana penataan reklamasi yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan seperti luas pulau, kapasitas penduduk pulau, alokasi pemanfaatan pulau serta rancangan sistem air, listrik dan lainnya.
Dengan demikian sangat jelas bahwa dari segi hukum, Pemerintah DKI Jakarta memiliki kewenangan perizinan reklamasi pantai utara Jakarta yang konstitusional berdasar Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995. Kewenangan perizinan dari Pemerintah DKI Jakarta dapat dicabut melalui Peraturan Presiden sebagaimana tercantum pada amar putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011.
Walaupun izin berada di Tangan Gubernur DKI Jakarta, tidak serta merta Gubernur dapat mengeluarkan SK (Surat Keputusan) perizinan pembuatan pulau reklamasi. Ada banyak syarat administrasi yang harus dipenuhi perusahaan pengembang diantaranya adalah AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) sebagaimana terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan.
Dampak Buruk Akibat Reklamasi
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 pada tanggal 24 Maret 2011 mencantumkan alasan Menteri Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Beberapa argumen Kementerian Lingkungan Hidup dalam menolak proyek reklamasi antara lain:
- Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh BP Pantai Utara Jakarta DKI Jakarta berdampak negatif terhadap lingkungan terutama dapat menyebabkan banjir.
- Kajian tentang banjir dalam studi AMDAL yang dilakukan perusahaan pengembang belum memperhitungkan pengaruh kenaikan muka laut rata-rata (mean sea level rise) dan pengaruh pasang surut dan belum memperhitungkan adanya back water (aliran balik sungai) akibat adanya hambatan berupa sedimentasi dan penimbunan tanah reklamasi ;
- Bahwa bencana banjir tahunan Kota Jakarta selama ini dan bencana banjir 2002, telah menimbulkan banyak korban dan permasalahan lingkungan hidup dan sosial ekonomi yang sangat besar ;
- Bahwa kajian studi AMDAL yang dilakukan perusahaan pengembang belum mencakup kemungkinan dampak lingkungan akibat pengambilan bahan urugan.
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup melalui laman resminya menyatakan bahwa pengambilan bahan urugan yang diambil dari dasar laut akan menyebabkan kerusakan ekosistem laut dan pola arus laut. Reklamasi juga akan menyebabkan tersingkirnya masyarakat berpendapatan rendah di kawasan utara Jakarta khususnya para nelayan di Kamal Muara, Muara Angke, Muara Baru, Kampung Luar Batang, pemukiman padat di depan Taman Impian Jaya Ancol serta Marunda Pulo.
Reklamasi juga dinilai dapat menyebabkan gangguan terhadap operasional PLTU/PLTGU Muara Karang yang menyuplai kebutuhan listrik Jakarta diantaranya adalah kawasan Istana Negara, Jalan Sudirman, Monas dan Bandara Soekarno Hatta. Gangguan tersebut diakibatkan oleh kenaikan suhu air pendingin. Selain itu, reklmasi juga dapat memperluas potensi pencemaran ke arah perairan Pulau Seribu akibat aktivitas di darat.
Manfaat Reklamasi
Dalam argumen sebagaimana tercantum dalam amar putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011, para pengembang mega proyek Great Sea Wall berdalih bahwa menurut hasil kajian para ahli lingkungan, reklamasi justru membawa dampak positif, baik terhadap lingkungan, sosial, ekonomi maupun terhadap peningkatan kehidupan masyarakat sekitarnya. Perusahaan pengembang berpendapat bahwa pantai yang dibiarkan begitu saja dan hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang terbatas untuk para nelayan dan pengangkutan laut lainnya justru akan mengalami degradasi lingkungan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa degradasi lingkungan akan menimbulkan ketidakteraturan, kemacetan, kerusakan bakau, banjir lokal, keadaan sungai yang semakin parah dan kotor/jorok, pencemaran air laut dan timbulnya penyakit dari perumahan kumuh yang semakin bertumbuh di sekitarnya.
Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 juga menjelaskan bahwa perusahaan pengembang hendak menjadikan Program Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta sebagai salah satu cara penanganan pantai yang akan memperbaiki kondisi lingkungan hidup melalui program penataan kembali pemukiman masyarakat pantai utara sebagai situs bersejarah. Reklamasi dipandang dapat membangun kawasan utara Jakarta yang merupakan kawasan kota tua sebagai andalan tourisme yang dinilai sangat bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan pembangunan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Perusahaan pengembang juga berdalih bahwa reklamasi dapat mencegah banjir dengan melakukan pembersihan dan normalisasi 13 muara sungai dan membantu pembuatan banjir kanal dan sarana pencegahan lainnya. Selain itu reklamasi juga dapat lebih menata lingkungan hidup dan sosial dengan mengatur ulang lingkungan yang ada menjadi lebih teratur, bersih dan higienis.
Adanya reklamasi dinilai dapat mempertahankan dan mengembangkan serta menata ulang lingkungan konservasi alam yang ada. Reklamasi juga dinilai dapat mempermudah perhitungan pengaruh kenaikan muka laut rata-rata (mean sea level rise) dan pengaruh pasang surut dan perhitungan adanya aliran balik sungai (back water). Keuntungan lainnya adalah meningkatkan dan merehabilitasi pemukiman-pemukiman kumuh sekitar pantai guna menjaga lingkungan yang bersih dan sehat.
Permasalahan
Berbagai permasalahan silih berganti timbul terkait Mega Proyek Giant Sea Wall. Pada Kamis (31/3) KPK (Komisi Pemeberantasan Korupsi) berhasil membongkar tindak pidana korupsi terkait proyek yang menyeret M. Sanusi selaku Anggota DPRD DKI Jakarta. Dalam keterangan pers sebagaimana termuat dalam laman resmi KPK pada tanggal 1 April 2016, M. Sanusi ditahan KPK (Komisi Pemeberantasan Korupsi) karena tertangkap tangan menerima dana Rp 1 miliar rupiah dan 140 juta rupiah dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu rupiah dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land. Operasi tangkap tangan terjadi di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan sekitar pukul 19.30 WIB. Menurut penjelasan KPK, uang suap tersebut digunakan untuk menyuap M. Sanusi berkaitan dengan pembahasan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. M. Sanusi disinyalir berperan dalam penurunan persentase distribusi pengembang dari 15 persen sebagaimana terdapat dalam draf Raperda usulan gubernur menjadi 5 persen.
Adanya kasus tindak pidana korupsi semakin membangkitkan gelora penolakan masyarakat terhadap Mega Proyek Giant Sea Wall. Suara penolakan salah satunya datang dari Bagus Tito Wibisono, Ketua BEM UNJ sekaligus Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia.
“Tolak, urgensi dibuatnya belum mampu menjawab permasalahan setelahnya; waktunya juga tidak tepat dan khawatir akan berdampak pada aspek sosial, ekonimi, dan ekologi,” tegas Bagus yang merupakan mahasiswa Biologi UNJ.
Penolakan juga datang dari Muhamad Zidni Rizky Ardani yang merupakan Ketua KSP Macaca, sebuah organisasi mahasiswa yang bergerak di bidang konservasi primata dan ekosistemnya. Organisasi ini secara rutin mengadakan pemantauan primata di kawasan Muara Angke yang diprediksikan akan terkena dampak dari proyek Giant Sea Wall.
“Menolak proyek tersebut karena belum ada urgensi yang jelas. Proyek tersebut juga akan merusak ekosistem alami yang terbentuk dalam waktu tidak singkat. Lagi-lagi pembangunan menjadi musuh abadi dari alam,” ujar Zidni.
“Ada lebih dari 10 ribu nelayan yang bertempat tinggal di Jakarta Utara. Entah berapa banyak yang akan kehilangan mata pencaharian . Dari sudut lingkungan hidup pun reklamasi teluk Jakarta mengancam, mulai dari perlambatan arus dan penumpukan sampah (dari 13 sungai yang bermuara di Jakarta). Jangan selalu berfikir terfokus pada kebermanfaatan alam untuk manusia namun juga (harus berfikir tentang) kebermanfaatan manusia untuk alam”, imbuh Zidni.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga turut memantau proyek reklmasi. Sebagaimana terdapat dalam laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Menteri Susi mempertanyakan kegunaan reklamasi. Dana reklamasi menurutnya akan lebih baik untuk membangun properti kepentingan umum yang lebih besar. Kepentingan umum bisa saja dalam bentuk perumahan untuk masyarakat, taman, pelabuhan, tempat rekreasi yang dinilai lebih produktif.
Hingga kini beberapa kalangan terus menyatakan penolakan proyek. KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) telah menggugat SK Gubernur DKI Jakarta yang memberikan izin reklmasi beberapa pulau buatan. Jika pengadilan nantinya menyatakan SK Gubernur tersebut tidak memenuhi syarat terbit sesuai peraturan perundang-undangan (salah satu syarat administrasi adalah terpenuhinya AMDAL atau Analisis Dampak Lingkungan), maka SK Gubernur harus dicabut. KPK juga terus mengusut adanya tindak pidana korupsi yang telah menyeret beberapa pihak dari perusahaan pengembang.
Disisi lain, Gubernur DKI Jakarta justru menjadikan Mega Proyek Giant Sea Wall sebagai proyek prioritas pemerintah daerah. Pada tanggal 26 November 2016, sebagaimana terdapat pada laman resminya, Gubernur Basuki Tjahya Purnama dalam Agenda Penyampaian Raperda Rencana Tata Tuang Pantai Jakarta Utara di DPRD mengatakan bahwa reklamasi skala besar sebagaimana telah dijalankan di Uni Emirat Arab, Singapura dan Hongkong justru memberikan banyak manfaat bagi kota secara ekologis dan ekonomis.
Daftar Pustaka
Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Provinsi DKI Jakarta.
Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 121 Tahun 2012 Tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 121 Tahun 2012 Tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).
Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 12 PK/TUN/2011.