Sudah tidak terbendung dan tidak dapat dipungkiri lagi, hiruk-pikuk pemberitaan dalam media-media alternatif tentang keluh-kesah pelajar yang bergejolak sepekan terakhir dan kemudian memuncak pada Hari Pendidikan Nasional kemarin merupakan respon dari carut-marutnya pendidikan yang sedang diterapkan di negeri ini. Pendidikan dalam konteks hari ini, dianggap tidak lagi membebaskan manusia dari belenggu-belenggu dehumanisasi, mahal dan asal-asalan.

Pendidikan seringkali diartikan secara sempit, sehingga mereduksi substansinya menjadi sebuah metode mengajar-mempelajari seperangkat kemampuan yang diharapkan dapat menunjang suatu bidang kerja yang tersedia dan dianggap banyak diperlukan dalam perekonomian dunia. Pengertian akan pendidikan yang seperti ini sudah bukan merupakan fenomena yang tak lazim dalam kehidupan hari ini, setiap orang bahkan saya akan/sempat memaknai pendidikan sebagai hal tersebut.

Pendidikan merupakan sebuah praktik sosial yang bertujuan untuk membangun suatu peradaban dan dilakukan diatas suatu realitas material yang bernama ruang.

Kebobrokan pendidikan yang ditandai dengan komersialisasi, mahalnya biaya dan fasilitas penunjang, hingga tidak adanya gairah tenaga pengajar merupakan suatu gejala sistemik yang bukan hanya dikarenakan perilaku korup suatu agen penggerak praktik pendidikan. Maka satu perspektif moralis tidak akan mampu menjawab dan memberi solusi kritis terhadap bobroknya pendidikan saat ini. Pendidikan merupakan sebuah praktik sosial yang bertujuan untuk membangun suatu peradaban dan dilakukan diatas suatu realitas material yang bernama ruang. Untuk itu, sebuah pengetahuan keruangan diperlukan untuk meninjau permasalahan pendidikan hari ini, mengkritisi, bahkan memberikan solusi.

Ruang seringkali dianggap sebagai suatu realitas material yang apa adanya dan seonggok aspek tidak penting yang menjadi backdrop dalam kehidupan yang senantiasa diisi, digunakan, dan dilewati sehari-hari. Tak ayal banyak teori sosial yang mengabaikan ruang sebagai faktor yang patut untuk dianalisis secara sistematis, buta ruang, bahkan menihilkan ruang. Ruang dibuat untuk memberlakukan, mewujudkan, melambangkan mimpi, aspirasi dan prestasi masyarakat di setiap tahap pembangunan (Zieleniec, 2007).

Untuk itu, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah masyarakat mana yang membuat ruang (pendidikan) dalam pengertian tersebut? Perlu sebuah genealogi dan logika komprehensif nan radikal akan ruang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Adalah David Harvey, seorang geografer Marxis asal Inggris yang memberikan banyak pencerahan dan pemahaman akan hal ini. Temuan-temuan serta kajian-kajian ruang berbasis sejarahnya berhasil memetakan mobilitas pembangunan ruang saat ini serta seperti apa dan bagaimana pembangunan ruang diarahkan.

Menurut Harvey, pembangunan ruang saat ini – sedikitnya – dapat ditelaah melalui implisitas teks-teks Marx akan mode produksi masyarakat kapitalisme. Menurut Marx, kapital (modal) memerlukan suatu ruang yang terkonsentrasi – untuk proses produksi, konsumsi, dan/atau distribusi – dan terkoneksi dengan suatu sistem kapitalisme yang besar untuk memastikan proses tersebut berjalan dengan efisien. (Marx, 1973)

Harvey berhasil memetakan kompleksitas pembangunan ruang di era kontemporer dan menemukan bahwa kapitalisme semakin kompleks mempengaruhi perkembangan ruang. Hal ini ditemukannya melalui analisis positivis Marx yang mengatakan bahwa kapitalisme, secara linear, akan hancur dengan sendirinya karena problema overakumulasi – yang secara nyata hingga dua abad setelahnya, kapitalisme berhasil melanggengkan sistemnya dan terus merekonfigurasi diri – dan digantikan oleh sebuah sistem baru, yakni sosialisme.

Temuan Harvey tentang bagaimana kapitalisme menghadapi problema overakumulasi membawanya lebih jauh, ia berhasil mengungkap bahwa kapital mengatasi problema overakumulasi melalui pengalihan atas surplus value ke sirkuit-sirkuit ekonomi berikutnya, yang memerlukan determinasi ruang. Harvey membaginya kedalam tiga sirkuit berbeda, yaitu primer, sekunder, dan tersier, dimana sirkuit primer, secara implisit telah menjadi objek analisis Marx.

Sirkuit Kapital

Sirkuit primer untuk Harvey adalah semua sarana yang dibuat untuk mengekstrak nilai surplus. Ini termasuk perpanjangan hari kerja atau reorganisasi proses kerja yang meningkatkan produktivitas tenaga kerja ini. Organisasi dari pembagian kerja dan investasi dalam barang-barang modal tetap seperti mesin juga termasuk dalam sirkuit primer kapital.

Dalam sirkuit sekunder, arus terbagi menjadi kapital tetap (fixed capital) untuk produksi (pabrik dan perlengkapan, kapasitas penghasil listrik, jaringan rel kereta api, pelabuhan-pelabuhan dsb) dan penciptaan suatu dana konsumsi (consumption fund) sebagai misal perumahan. Pemanfaatan gabungan seringkali mungkin dilakukan (jalan tol bisa dimanfaatkan baik untuk aktivitas-aktivitas produksi maupun konsumsi).

Porsi-porsi tertentu kapital yang mengalir ke sirkuit sekunder ditanamkan dalam bentuk tanah dan menjadi aset-aset bank yang menempati suatu tempat – suatu lingkungan yang dibangun untuk produksi dan konsumsi (segala hal mulai dari kawasan-kawasan industri, pelabuhan dan bandara, jaringan-jaringan transportasi dan komunikasi untuk sistem pembuangan limbah dan air, perumahan, rumah sakit, dan sekolah-sekolah). Investasi-investasi ini biasanya menjadi suatu inti fisik dari suatu kawasan.

Ringkasnya, investasi-investasi itu memainkan suatu peran fundamental di dalam produksi regionalitas. Sederhananya, investasi-investasi itu lebih dari sekedar suatu sektor minor dalam ekonomi. Investasi-investasi tersebut bisa dan memang menyerap sejumlah besar kapital dan tenaga kerja, terutama, sebagaimana kita lihat, ketika terjadi ekspansi geografis (Harvey, 1978)

Di sirkuit tersier, Ia berhasil mengungkapkan bahwa sirkuit inilah yang menjadi posisi paling krusial bagi kapitalisme, dimana sistem ini secara menyeluruh dapat dilanggengkan dan pendidikan berperan penting dalam membentuk hegemoni di atas ruang. Di sirkuit ini surplus kapital diarahkan ke belanja-belanja sosial (social expenditures) dan riset serta pengembangan, maupun pendidikan.

Pemodal (beserta perangkatnya) melalui peran negara membentuk sejenis peternakan penetas telur yang siap memproduksi tenaga-tenaga terampil-siap kerja untuk kembali memberikan produktivitasnya kepada industri-industri yang dimiliki pemodal. Social expenditures dalam sirkuit tersier ini – secara spasial – dimanifestasikan dalam universitas-universitas serta sekolah-sekolah. Hal ini dapat tercermin dari gembar-gembornya pemerintah mengkampanyekan urgensi program vokasi (lihat: “Menghadapi Urge, dalam kesempatan tersebut, Sutrisna menyampaikan bahwa lulusan pendidikan vokasi merupakan tenaga terampil yang akan memenuhi kebutuhan industri. Hubungan kerja sama tersebut perlu dikembangkan dengan cara penyusunan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri. Pendidikan hari ini senantiasa hanya sebagai sarana perpanjangan nafas kapitalisme.

Mengimplikasikan Hak Atas Kota kepada Pendidikan

Terminologi hak atas kota ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh sosiolog Prancis, Henri Lefebvre. Bagi Lefebvre (Sugranyes dan Mathivet, 2010), hak atas kota berarti hak terhadap kota itu sebagai sesuatu yang nyata, yang hadir dengan segala kerumitannya saat ini untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut sesuai dengan konteks ekonomi politik kekinian. Dengan pengertian ini, maka hak atas kota itu tidak sekadar dimaknai bahwa warga miskin berhak untuk mengakses pendidikan dan kesehatan gratis, misalnya, tapi juga warga miskin tersebut memiliki hak untuk mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut. Singkatnya, penduduk miskin yang menetap di kota tersebut bukan hanya pelaku pasif dari sebuah perubahan, tapi aktif terlibat dalam proses perubahan itu. (Coen/Indoprogress, 2013)

Dengan demikian, titik tolak dari hak atas kota, adalah partisipasi rakyat terhadap pembangunan kotanya. Dalam konteks pendidikan, rakyat tidak boleh dimaknai hanya sebatas objek pendidikan yang diasah kemampuannya hingga mafhum dan menjadi tenaga-tenaga kerja industri siap pakai. Rakyat harus diikut sertakan secara aktif dalam pendidikan, termasuk dalam pembentukan ruang alternatif dalam konteks pendidikan sekalipun, merupakan hak rakyat secara penuh untuk membangunnya tanpa intervensi pemodal. Peran rakyat sebagai subyek dan peserta pendidikan adalah merekonstruksi ruang yang fondasinya dibangun dibawah kehendak pemodal dan membangun alternatif baru sebagai pelepas kesenjangan. Sekali lagi, pendidikan harus menjadi kunci dari rantai-rantai belenggu dehumanisasi dan bukan sebaliknya.

Rawamangun, Mei 2017

*M. Muslim Ridho – adalah Pemuda gondrong, penikmat musik hardcore/punk, dan sedang menempuh pendidikan di Program Studi Sosiologi Pembangunan, Universitas Negeri Jakarta.

Kepustakaan:

Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Yogyakarta dan Jakarta: Resist Book dan Institute for Global Justice
Prasetyo, Arif. 2016. Skripsi Pembangunan Mall di Jakarta 2007-2013: Tinjauan Kritis Mode

Produksi Ruang Lefebvre. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Zieleniec, Andrzej. 2007. Space and Social Theory. London: Sage Publication

Categorized in: