Beberapa Minggu yang lalu, telah banyak tersebar berbagai tulisan di lingkungan kampus pergerakan ibu kota. Tulisan tersebut merupakan refleksi dari keresahan terhadap sistem kampus yang mulai tidak menguntungkan terhadap civitas akademika kampusnya.
Tulisan-tulisan tersebut diawali oleh tulisan fenomenal berisi asumsi berbasis fakta dan data yang mengungkap sisi gelap kampus oleh pak Ubedilah Badrun yang berjudul : Wajah kampus mulai bopeng. Kemudian beriringan dengan tulisan teman-teman mahasiswa lainnya yang membahas terkait pelarangan pada saat agitasi massa, pengintimidasian salah seorang mahasiswa hingga pembungkaman civitas akademika dalam mengritik penguasa kampus.
Kampus negeri di ibu kota ini memiliki akar sejarah panjang dalam perlawanan terhadap rezim anti demokrasi.
Tetapi kampus sebagai markas perlawanan saat ini dikuasai oleh rezim anti demokrasi itu sendiri.
Hingga akhirnya renungan saya membentur pada satu titik. ‘Saya rindu akan sosok pahlawan’. Akhir-akhir ini saya terus memikirkan sesosok pahlawan yang tetap terus memegang teguh pada kebenaran ilmiah.
Menurut KBBI pahlawan merupakan orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.
Sedangkan,Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan (“UU No. 20/2009”), pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Namun bukan pahlawan yang mendapat gelar dari pemerintah melalui UU No. 20 tahun 2009 yang saya maksud. Bukan pahlawan yang berperang dan gugur dalam membela NKRI. Atau pahlawan yang memiliki riwayat prestasi yang luar biasa. Pahlawan yang saya maksud adalah merujuk pada pengertian KBBI, yaitu orang yang menonjol berani dan berkorban dalam memperjuangkan kebenaran. Sekali lagi, orang yang menonjol berani dan rela berkorban dalam memperjuangkan kebenaran.
Pada era reformasi ini semua orang bisa diakui sebagai pahlawan meskipun tak harus dinobatkan secara resmi oleh pemerintah. Karena pahlawan itu dinilai oleh masyarakat melalui apa yang telah orang tersebut berikan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks problematika kampus saat ini. Saya memiliki harapan bahwa pahlawan itu adalah para penguasa-penguasa kampus yang berkearifan dalam membangun sebuah kekuasaan dengan mengerahkan segenap potensi intelektual dan spiritual.Mengolah Amarah dan ambisius dalam keluhuran jiwa. Berpegang teguh pada kebenaran ilmiah, serta kezuhudan yang tidak akan pernah membiarkan kekuasaan merasuki jiwanya.
Karena sejarah membuktikan bahwa kampus negeri ibu kota ini pernah dikuasai oleh orang-orang yang memiliki integritas seperti yang saya sebutkan di atas. Sebut saja mereka penguasa kampus di era 1970-an. Rektor Deliar Noer pernah merasakan bagaimana dipecat karena memegang teguh idealismenya terhadap kebenaran ilmiah. Pembantu Rektor 3 Arief Rachman pada era 70-an dipenjara karena gerakannya tidak berhenti sejak 66 hingga peristiwa Malari (Malapetaka 5 Januari) demi kedaulatan republik, Rektor Conny R Semiawan menghadapi represi rezim dengan caranya yang ilmiah. (Pak Ubed dalam sambutan buku risalah pergerakan mahasiswa UNJ)
Namun kenyataan itu berbanding terbalik saat ini. Berdasarkan penjelasan pak Ubed (tulisan bisa dibaca di sini) Kampus negeri di ibu kota ini sebagai miniatur peradaban mengalami krisis secara intelektual, demokratis dan profesional. Ketika para civitas akademika kampus menciptakan produk intelektualnya mereka tidak didukung secara pendanaan oleh penguasa kampus. Mereka mencoba mengkritik terhadap kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada budaya intelektual kampus.Tetapi Mereka dibungkam dengan cara melaporkannya ke kepolisian. Terlebih selama ini transparansi anggaran dana yang tidak pernah jelas serta data audit BPK yang bermasalah. Yaa, kampus kita sedang dilanda krisis.
Namun, Anis mata dalam bukunya berjudul Mencari Pahlawan Indonesia pernah berkata:
“Krisis merupakan sesuatu yang pasti adanya, kita tidak perlu menyesalinya, apalagi mengutuknya. Permasalahannya ada pada pertanyaan ‘Di mana pahlawan itu saat krisis terjadi?‘ “
Pahlawan selalu terlahir disaat-saat krisis terjadi dalam perlawanannya dalam membela kebenaran. Dan orang-orang yang mau menjalankan takdirnya sebagai pahlawan tidaklah banyak. Karena tradisi perlawanan memang selalu lahir dalam krisis dan kesunyian. Boleh jadi kita dikucilkan oleh orang sekeliling kita karena melawan arus dari sistem yang ada. Boleh jadi kita dianggap penghianat dan pencemar nama baik kampus. Bahkan, boleh jadi kita disingkirkan dengan surat untuk mengundurkan diri.
Seperti yang pernah dilakukan para penguasa kampus negeri ibu kota ini di era 70-an dalam melakukan perlawanan terhadap rezim anti demokrasi saat itu. Mungkin mereka hanya segelintir orang. Atau bahkan sendiri. Namun terbukti perlawanannya menjadi bintang penerang bagi generasi-generasi selanjutnya. Mungkin saat ini sebagian dari mereka sudah tiada, namun perlawanannya menjadikannya abadi dalam pikiran kolektif masyarakat. Lalu, saat ini perlawanan mereka telah menjadi arus besar yang menggerakkan kita untuk meruntuhkan rezim anti demokrasi. Yaa, bagi saya mereka adalah pahlawan.
Namun, siapakah sosok pahlawan selanjutnya dalam merespon krisis yang terjadi saat ini seperti apa yang dilakukan para pendahulu kampus ini?
Saya rindu sosok pahlawan tersebut. Apakah kampus perjuangan ini sudah cukup mandul dan tidak bisa menghadirkan sesosok pahlawan kembali?
Yang pasti, pahlawan tersebut tidak diminta untuk ditunggu, dicari bahkan dieluh-eluhkan agar muncul. Karena pahlawan itu telah berada di sini, aku,kau dan kita semua. mereka hanya belum memulai, mereka hanya perlu merebut takdir kepahlawanan mereka.
(Anis Matta, mencari pahlawan Indonesia,2004) [ ]
Ekky Pratama Djoko S
Mahasiswa UNJ