UUD 1945 pasal 28E ayat 3 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Terasa berat ya kalau berbicara tentang hukum… Apa lagi itu merupakan hukum yang paling tinggi.

Baru-baru ini kita telah gegap gempita dalam merayakan hari pendidikan nasional. Masyarakat miniatur peradaban UNJ merayakannya dengan banyak hal. Ada yang merayakannya dengan upacara sampai menyampaikan pendapat (aksi) ke Kemendikbud dan Kemenristekdikti.

Hampir genap 19 tahun kita telah beranjak dari momentum reformasi. Dan selama itulah kita mengisi masa-masa pasca reformasi dengan tetap mengeluarkan pendapat. Namun ironisnya, setelah sekian lama kita memaknai kata reformasi dan kebebasan beraspirasi, tepat tanggal 2 mei kemarin hal itu dinodai begitu saja.

Baca juga: Refleksi Hari Pendidikan: Apa Kabar Wahai Kampusku?

Dengan maksud untuk melakukan agitasi dalam rangka aksi hardiknas di kemendikbud dan kemenristekdikti, tiba-tiba mobil sound yang baru beberapa meter memasuki kampus (tepatnya dipersimpangan FIP-Bakhum) dihentikan begitu saja oleh birokrator kampus.

Secara garis besar oknum birokrator tersebut melarang mobil sound masuk untuk agitasi dengan berlandaskan tiga hal, yaitu karena ada acara salah satu stasiun televisi yang sedang live, kebisingan suara mobil sound dan juga khawatir menimbulkan kemacetan karena mobil sound berjalan lambat.

Pada saat negosiasi ditempat, mahasiswa sudah mengajukan opsi untuk meminimkan suara di titik yang memang sedang diselenggarakan acara dan juga menawarkan untuk mempercepat laju mobil sound. Namun ternyata usul itu ditolak dengan alasan bahwa, “mobil kaya gitu gak boleh masuk” dan katanya “emang sudah aturannya kayak gitu”.

Sungguh ironisnya, demokrasi yang sudah sejak lama kita junjung nampaknya diciderai begitu saja.

Yang pertama, jika memang alasan kebisingan lah yang dikedepankan, tetapi mengapa acara-acara yang menggunakan suara lebih besar diperbolehkan? “Oh karena mereka ada izin”

Lantas, jika memang harus mengajukan surat izin (untuk agitasi dengan mobil sound), mana peraturannya? Kapan disosialisasikannya?

Rasanya tidak perlu saya utarakan secara gamblang lagi, pada awal tulisan ini sudah saya kemukakan hukum tertinggi yang jelas-jelas menjamin hak untuk mengeluarkan pendapat. Dan kalaupun ada hukum yang melarang adanya penyampaian aspirasi, kembali lagi kepada asas Lex superior derogat legi inferior (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah).

Keadaan pembungkaman aspirasi, kritik, dan demokrasi dalam kampus yang sekarang ini sedang menuju kembali kepada era orde baru semakin diperparah dengan adanya agenda komersialisasi pendidikan. Dimana kini lembaga pendidikan mengalami pergeseran tujuan dari lembaga pendidikan menjadi perusahaan peraup keuntungan.

Sudah suatu ketidaklaziman yang dengan tidak sengaja dilazimkan bahwa biaya pendidikan tiap tahunnya akan mengalami kenaikan. Hingga, sekarang ini sudah timbul status quo, jika ingin pintar kamu harus kaya!

Dan lagi, dengan biaya yang semahal itu, kampus masih saja membuka tangannya untuk bekerjasama dengan pihak-pihak yang ingin menyelenggarakan kegiatan yang berorientasi keuntungan dan jauh dari habitus intelektual. Lagi-lagi hal itu dilakukan dengan landasan “atas nama baik kampus”.

Mohon maaf, bukan maksud untuk menggeneralisasi segala macam kegiatan itu mengkomersialisasi kampus. Memang ada bagusnya kalau ada beberapa kegiatan seperti itu. Tetapi, menurut saya alangkah lebih baiknya jika hal tersebut masih tetap menjaga koridor intelektual kita sebagai kaum yang mendiami miniatur peradaban.

Yahhh… Namun beginilah faktanya. Beginilah keadaannya. Beginilah ironisnya.

Baca juga: Menanggapi Tulisan “Wajah Kampus Mulai Bopeng? Oleh: Ubedilah Badrun”

Memang hari ini kita menuju kepada kondisi pembungkaman seperti orde baru. Bahkan bisa dikatakan, menuju kondisi “neo orde baru”. Dimana pembungkaman yang terjadi dipercantik dengan adanya permasalahan lain yang mengekor dibelakangnya. Seperti masalah komersialisasi ini.

Dan akan ada suatu pertanyaan besar yang sama-sama akan lewat dalam benak kita. “Jika kondisi yang hari Ini terus dibiarkan begitu saja, akankah muncul gejolak besar di kemudian hari?”

Oleh: Akbar Kurnianto (Mahasiswa UNJ)

Categorized in: