“Aku kecemplung masuk sini, ya mau gimana lagi daripada gak dapet PTN”, “Padahal aku cita-citanya pengen banget masuk kampus kuning itu, tapi malah keterimanya di kampus hijau”, “Aku sebenernya gak mau jadi guru, tapi orang tua aku kekeh nyuruh aku jadi guru”, dan sederet aku aku lainnya.

Mungkinkah kamu salah satu di antara mereka? Atau mungkin kamulah yang menjadi lakon utama? Lantas mau membuka hati dan menerima atau terus meratapi dengan gemuruh di dada?

Baik, sekarang kita tinggalkan aku-aku diatas, karena gak semua loh yang masuk kampus hijau itu kecemplung. Ada kok yang mencita-citakan dan menjadikannya pilihan pertama, menyebut namanya di dalam lantunan do’a, mengangkasakannya ke langit bersama semoga, berharap Allah meridhoinya. Ada kok ada, tenang kamu gak sendirian memperjuangkannya. Kampus hijau ini gak kalah kok sama kampus kuning disana, kampus hijau ini juga bisa bergengsi di masanya, dan  dari kampus hijau ini juga lahir ribuan guru pencetak Ki Hajar Dewantara.

Banyak kenikmatan yang diperoleh selama menginjakkan kaki disini. Nikmat persaudaraan, nikmat kerakyatan, nikmat kekeluargaan dan yang pasti nikmat pendidikan. Kalo kata abang-abang mah “Selamat datang di kampus pergerakan intelektual”, pergerakan? Wuih bergerak mulu gak capek apa? Justru yang capek itu kalo kita cuma diem, badan pegel-pegel, kaki linu-linu. Bener gak? #okeabaikan

Kalau ditilik dari sejarah sih, Indonesia merdeka lewat sebuah pergerakan, pemudanya bersatu dan berhimpun untuk satu tujuan, menggapai cita-cita mulia yang telah lama didambakan. Nah, jika dulu bergerak melawan penjajah, sekarang bergerak melawan panjarah. Memperjuangkan keadilan untuk melukis senyuman. Jika masih ada pemuda yang mengkritisi pergerakan, coba katakan di mana letaknya hati nurani yang katanya tersimpan di balik hati? Dimana letaknya rasa simpati yang katanya milik sanubari? Mungkin kita tidak bisa memberikan harta untuk kampus dan negara, tapi kita masih punya jiwa dan raga untuk membakar semangat yang membara.

Versi abang-abang udah, nah kalo versi mba-mba mah “Selamat datang di kampus generasi qur’ani”. Lembut kan ya, adem ngedengernya seadem ngeliat juntaian pakaian takwa bertebaran saling sapa. Bahagianya wanita yang kuliah di kampus pecinta qur’an ini. Bahagia karena mereka di jaga dari gemerlapnya ibu kota melalui program ‘gerakan setengah tujuh’. Suatu penjagaan yang hanya bisa ditemukan di kampus ini, bahkan kampus lain pun cemburu melihatnya.

Fabi’ayyialaa irobbikuma tukadziban, Maka nikmat Tuhan yang mana lagi kah yang akan kau dustakan? Allah maha baik, Allah mengabulkan kebutuhan kita bukan keinginan kita. Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang untuk mengangkat namanya?

Berprestasi dalam bidang akademik dan nonakademik itu sudah pasti karena namanya bisa semerbak tercium seantera raya. Namun satu hal yang dapat menggetarkan. Kini saatnya aku dan kamu mengatakan pada dunia bahwa, AKU BANGGA MENJADI BAGIAN DARI KAMPUS HIJAU.

Mutiara yang lama bersembunyi, kini mulai kokoh memperlihatkan keelokannya, memancarkan kilaunya dan harganya bukan hanya untuk dirinya namun juga untuk lingkungannya.

Akan ku tunjukan kepada dunia betapa berharganya kampusku ini. Mutiara yang lama bersembunyi, kini mulai kokoh memperlihatkan keelokannya, memancarkan kilaunya dan harganya bukan hanya untuk dirinya namun juga untuk lingkungannya. Sekian, selamat menebar manfaat mutiaraku.

Oleh: Yulpiana Ismaniar (PGSD UNJ Angkatan 2015)

Tulisan ini dipersembahkan untuk Pesta Literasi 2017 yang diselenggarakan oleh UNJKia.

Categorized in: