“Tidak ada sekat bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Bagaimanapun kondisi setiap individu yang ada, ia berharga dan berhak memiliki cita-cita. Maka dari itu Pendidikan adalah hak dan kewajiban yang harus terealisasikan untuk masyarakat bangsa.”
–Filzah
Pendidikan merupakan aset utama dalam visi bangsa Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 yaitu: mencerdaskan kehidupan bangsa, kesejahteraan dalam kehidupan di masyarakat, dan mendapatkan keadilan sosial. Pendidikan mampu menjadi andil suatu bangsa dalam membentuk kemandirian setiap individu, yang pada akhirnya mampu berkontribusi di lapangan dalam menjalani fungsinya sebagai masyarakat yang terdidik.
Dalam pendidikan, tak lepas dari banyak elemen masyarakat dengan ciri khas dan karakteristik setiap individu yang berbeda-beda. Begitu pula dengan disabilitas yang juga berhak mendapatkan hak dan kewajibannya dalam memperoleh pendidikan yang layak, sesuai kebutuhannya dalam menunjang proses pelaksanaan pendidikan. Tidak ada pembeda dalam hak setiap individu memperoleh pendidikan untuk mengembangkan kualitas dirinya.
Pendidikan adalah hak segala rakyat yang tinggal di Indonesia. Tak lepas dari itu, pendidikan juga mencakup pada pendidikan bagi penyadang disabilitas yang mana memerlukan layanan khusus. Membahas tentang disabilitas, mungkin terngiang asing bagi mahasiswa yang belum mengenal sepenuhnya tentang disabilitas itu sendiri. Sebagian besar mahasiswa hanya mengatakan atau memberi label bahwa penyandang disabilitas adalah manusia yang memiliki kekurangan, gangguan, ataupun keterbatasan dalam dirinya.
Perspektif inilah yang pada akhirnya membuat kita mendefinisikan sebatas apa yang kita lihat. Padahal jika kita berbicara luas tentang disabilitas, kita akan tahu bagaimana kelebihan dan cara-cara mereka dalam melakukan berbagai aktivitas begitu memiliki cara tersendiri yang luar biasa.
Membahas disabilitas dalam ruang lingkup Kampus Universitas Negeri Jakarta. Sebagai mahasiswa UNJ kita tahu, bahwa UNJ adalah Kampus yang mencetak ketenagakerjaan guru-guru yang pada akhirnya akan mendidik seluruh generasi penerus (LPTK). Disetiap masyarakat UNJ tak bisa dipungkiri, dari sebagian mahasiswa yang ada dalam kampus ini terdapat beberapa penyandang disabilitas. Namun seakan kampus yang dinamakan kampus pendidikan pun memiliki kekurang peka dan ramah terhadap para mahasiswa dengan disabilitas. Padahal jelas dalam Undang-undang No.8 Tahun 2016 Pasal 2, terdapat pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang beberapa unsur didalamnya berisi Tanpa diskriminasi, kesamaan kesempatan, kesetaraan, dan aksesibilitas.(Sumber)
Berbagai informasi survey yang dilakukan tim advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa Program Studi Pendidikan Luar Biasa UNJ (BEM PLB), terdapat beberapa laporan tentang mahasiswa dengan disabilitas dari beberapa Fakultas, diantaranya Fakultas Teknik di program studi (Prodi) Tata Boga, Fakultas Seni dan Bahasa di Prodi Seni Rupa dan Sastra Indonesia, juga Fakultas Ilmu Pendidikan yaitu Pendidikan Luar Sekolah dan Pendidikan Luar Biasa.
Namun yang menjadi pertanyaan untuk Kampus yang dinyatakan sebagai kampus pendidikan “Apakah sudah merealisasikan pelaksanaan dan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas khususnya mahasiswa di Kampus UNJ sendiri?“.
Kita tahu bahwa penyandang disabilitas adalah minoritas dari sebagian kecil masyarakat UNJ. Tapi mereka berhak mendapatkan layanan dan aksesibilitas yang memudahkan mereka dalam melakukan proses pendidikan di bangku kuliah. Mereka berhak mendapatkan sarana dan prasarana yang layak untuk menjalani proses perkuliahan.
Di kampus UNJ sendiri terdapat penyandang disabilitas diantara tunanetra,tunarungu dan tunadaksa. Tunanetra adalah seseorang yang mengalami hambatan dalam penglihatan, namun dalam hal ini, tunanetra akan dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan UNJ jika diberi akses yang ramah, aksesibilitas itu dapat berupa guiding blok yang berfungsi untuk memberikan kemudahan bagi tunanetra mengetahui jalan. Bahkan gedung-gedung yang dibangun diberi tulisan braille agar mahasiswa dengan tunanetra mampu mengetahui setiap ruangan, ataupun tempat yang ia tuju.
Namun realitanya, banyak pembangunan berupa gedung-gedung di kampus UNJ sendiri yang belum menyambut dengan ramah mahasiswa disabilitas dan mengabaikan hak-haknya. Terkadang guiding block yang dibuatpun hanya sebagai hiasan jalan yang mana dibuat tidak sesuai dengan fungsinya, entah guiding block mengarah ke dinding, mengarah ke selokan air, ataupun berbenturan dengan dinding kampus.
Tak luput pula bagi mahasiswa tunarungu yang mana memiliki hambatan dalam pendengaran. Aksesibilitas dan pelayanan pun belum sepenuhnya ramah. Banyak ruang dan gedung yang belum jelas nama tempat gedung itu sendiri. Sehingga mahasiswa dengan tunarungu bingung untuk mencari tempat atau gedung yang dituju. Misalnya gedung daksinapati, mungkin mahasiswa yang sudah lama atau tidak memiliki hambatan pendengaran bisa saja tahu letaknya dengan bertanya-tanya, bagaimana jika dengan mahasiswa yang mengalami tunarungu? Terkadang kecanggungan untuk bertanya yag justru akan membuat mereka bingung mengetahui setiap nama gedung yang ada di sekitar kampus UNJ. Ditambah proses pembelajaran tunarungu di kelas yang tidak semua dosen mampu memahami hambatan yang di miliki setiap siswa. Maka layar yang berupa tulisan untuk memberi penjelasan tentang materi perkuliahan bagi mahasiswa dengan tunarungu sangat diperlukan.
Setelah membahas mahasiswa dengan tunanetra dan tunarungu, ada pula mahasiswa tunadaksa atau seseorang yang mengalami gangguan fisik yang berkaitan dengan tulang, otot, sendi, ataupun sistem syaraf. Dari hasil survey Advokasi BEMP PLB, terdapat mahasiswa tunadaksa yang sudah barang pasti memakai kursi roda di kehidupan sehari-hari termasuk perkuliahan. Jelas ini menjadi perhatian yang juga harus dikritisi, karena kita tahu bagaimana bangunan yang ada di UNJ, di gedung Fakultas tidak ada lift ataupun ramp (akses tangga dengan bidang miring) yang membantu mahasiswa tersebut untuk naik ke atas. Selama ini, mahasiswa tersebut untuk naik keatas atau menuju kelas dengan bantuan teman-temannya, padahal bukan karena mahasiswa tersebut mengandalkan ataupun tidak dapat mandiri, tapi lagi dan lagi lingkungan yang tidak ramah terhadap kondisinya. Seandainya semua masyarakat kampus memahami bahwa sebenarnya penyadang disabilitas dapat menjadi produktif, mandiri, dan menjalankan fungsinya sebagai mahasiswa lainnya apabila lingkungan kampus pun ramah dan memberikan layanan terbaik.
Saat ini kita tahu, banyak pembangunan gedung yang belum memenuhi syarat standar aksesibilitas atau sekitar jalan kampus yang masih diskriminatif terhadap penyadang disabilitas. Padahal telah tercantum dalam kebijakan negara berupa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI No.30 Tahun 2006 tentang pedoman teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Bahkan dalam Permen PU No.30 tahun 2006 disebutkan bahwa pedoman teknis tersebut dibuat untuk memenuhi beberapa prinsip aksesibilitas yakni keselamatan, kemudahan, kegunaan, dan kemandirian.
Solusi untuk setiap gedung seharusnya :
(a). Dibuat ram yang memudahkan mahasiswa ataupun masyarakat Kampus yang menggunakan kursi roda untuk menuju tempat yang dituju.
(b). Ruangan, toilet, dan gedung dilengkapi dengan label, nomor, atau huruf braille.
(c). Pembedaan nama yang jelas untuk menjadi identitas gedung.
Dari sinilah kita mengetahui, betapa pentingnya aksesibilitas yang ada di dunia kampus. Maka dari itu setiap pembangunan wajib melibatkan disabilitas. Jika aksesibilitas telah mendukung penyandang disabilitas maka kemandirian dapat terealisasikan dengan baik dan tidak ada pembedaan dalam memperoleh hak-hak di dalam perkuliahan. Di dunia kampus pun kita sebagai mahasiswa yang berada di dalamnya dapat pula memperjuangkan hak-hak disabilitas yang memiliki kesamaan hak seperti mahasiswa lainnya.Bahkan paradigma masyarakat kampus tentang penyadang disabilitas pun harus mampu merubah pandangan menjadi sisi yang positif, bahwa setiap manusia yang diciptakan Tuhan adalah sebaik-baiknya penciptaan. Setiap kekurangan diiringi kelebihan. Tidak ada yang layak menyebut dirinya menjadi sebagai sosok yang sempurna, karena pada hakikatnya manusia adalah sempurna dengan caranya sendiri.
Filzah Restu Alfriyani
Mahasiswa UNJ