Pendidikan bagi suatu bangsa tak pernah luput dari keharusan. Pendidikan adalah bahan bakar utama penggerak mesin kebangsaan. Pendidikan juga sebagai Investasi terpenting bagi suatu masyarakat bangsa yg ingin maju negaranya. Indonesia saat ini memiliki demografi lebih dari 260 juta penduduk dan kekayaan SDA yg melimpah ruah, baik itu tambangnya, hutannya, lautnya, hinggakearifan lokal yang sangat beragam dari sabang-merauke.
Lalu mengapa saat ini Indonesia masih tak kunjung dianggap sebagai negara yang maju? Bahkan dalam lingkup ASEAN, Bangsa ini masih jauh tertinggal oleh Brunei dan Singapore yang jika dilihat kasat mata Indonesia lebih segala-galanya dibanding negara-negara tersebut. Mengapa? Pendidikan jawabannya.
Dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan merupakan alat Pranata sosial dan pemberdayaan sumber daya manusia Bangsa Indonesia agar terciptanya manusia yang berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan setiap zaman. 73 tahun Bangsa ini merdeka, sudah sebelas kali pergantian kurikulum dan sistem pendidikan Indonesia, namun belum terlihat titik terang dalam sistem pendidikan kita.
Dewasa ini Sekolah/Kampus dianggap sebagai industri. Pendidikan hanya dilihat sebatas standarisasi dalam dunia kerja. Peserta didik tidak lain hanya calon buruh yang sudah dinanti para pemodal. Visi perbaikan dan majunya pendidikan Indonesia hanya terucap pada kampanye dan hilang ketika sudah memangku kekuasaan. Konsep pendidikan sebagai bentuk memanusiakan manusia, hanya sebatas kata dalam banyaknya pustaka.
Teringat 2 Mei 2017, disalah satu Kampus Ibukota, Universitas Negeri Jakarta, mahasiswa turun ke jalan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Pun aksi ini menjadi moment untuk UNJ mempertanyakan kepimpinan Rektor UNJ yaitu Prof. Dr. H. Djaali yang dirasa melakukan kriminalisasi terhadap Dosen yang mencoba mengkritisi kebijakan kampus, dugaan nepotism, dan juga beberapa kasus plagiarisme yang ada di Kampus Pascasarjana UNJ. Bentuk aksi ini bukan hal baru baru saja terjadi di UNJ, setahun sebelumnya sekitar 3000 mahasiswa UNJ melakukan aksi didepan gedung Rektorat menuntut pembatalan kebijakan uang pangkal sebesar 15 juta rupiah dan kenaikan biaya UKT gol. 3 ke atas.
Pada kasus Rektor ini, mahasiswa dan dosen dibawah gerakan Forum Militan Independen (FMI) UNJ akhirnya menemukan jalan terang. September 2017 setelah Menristekdikti melakukan investigasi dan membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus plagiarisme Gubernur nonaktif Sulawesi Tengah, Nur Alam. Menristekdikti resmi melepas jabatan Rektor dari Prof. Dr. H. Djaali dan digantikan sementara oleh PLT Rektor yaitu Prof. Intan Ahmad., Ph.D.
Namun tidak lama setelah itu, UNJ kembali dihadapi oleh masalah yang merupakan dampak dipecatnya Prof. Dr. H. Djaali sebagai Rektor UNJ. Saat ini masalah itu ada UNJ “berjalan tanpa Kepala”, atau bisa dibilang masih belum memiliki Rektor definitif. Padahal seharusnya UNJ sudah harus memiliki Rektor melalui Pilrek UNJ sekitar pertengahan tahun 2018. Penyelesaian masalah kriminalisasi, nepotisme, dan plagiarisme yang diharap selesai hari ini melahirkan masalah yang tak kalah rumit. Dengan tidak adanya Rektor definitif, UNJ tidak mampu melakukan program-program strategis karena PLT Rektor tidak berwenang melakukan kebijakan jangka panjang seperti salah satu contonya, yaitu melakukan pembangunan gedung di lingkungan UNJ yang sudah lama “mangkrak” dan membuat rancangan pembangunan lainnya.
Sekarang hampir 2 tahun sejak 2 Mei 2017 dimana aksi tersebut menjadi promotor gerakan yang membuat lengsernya Prof. Dr. H. Djaali. Luka masih terus membekas, bahkan luka baru mulai menggerogoti UNJ. Memang mahasiswa tidak tinggal diam, beberapa kali mahasiswa melakukan audiensi dan aksi. Mulai menuntut dipercepatnya pembuatan statuta hingga saat ini, ketika statuta sudah siap namun tak kunjung di sahkan. Banyak pihak tentu dirugikan dan pun ada pula oknum yang mungkin memanfaatkan kondisi kampus ini berjalan tanpa “Kepala”, dan sungguh sangat amat disayangkan.
Disaat Sistem Pendidikan Indonesia yang tak kunjung rampung sebagai sistem yang mencerdaskan anak bangsa. Institusi Pendidikan pun belum selesai dengan urusan rumah tangganya. Padahal Indonesia saat ini sedang menuju gerbang emas perubahan, yaitu dengan adanya bonus demografi. Namun hal tersebut bisa jadi bumerang bagi bangsa, jika ternyata para pemuda atau SDM dengan produktif ternyata tidak mampu bersaing dan memiliki kuliatas rendah. Negara tentunya akan terbebani dan bukan hal yang tidak mungkin Bangsa ini akan semakin semrawut.
Salma Salsabila
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial UNJ
Comments