Di Amerika Serikat, Gubernur Kentucky, Matt Bevin mengusulkan sebuah ide yang cukup kontroversial. Ia ingin mahasiswa-mahasiswi yang sedang mengambil jurusan STEM (Science, Technology, Engineering, dan Mathematics) agar mendapatkan subsidi pendidikan dari pemerintah. Yang menjadi kontroversial adalah Bevin melarang subsidi tersebut diberikan kepada mereka yang berkuliah di jurusan seperti sastra dan ilmu sosial.

Batt Bevin tidak sendirian di negaranya, Senator Florida, Marco Rubio, bahkan secara terang-terangan menyatakan di depan publik bahwa Amerika lebih membutuhkan insinyur ketimbang para ahli filsafat. Kurangnya sumberdaya yang ahil memang menjadi masalah serius di beberapa negara maju, dimana jantung perekonomian mereka sangat bergantung pada innovasi yang berkesinambungan. Jika supplai inovasinya berhenti, maka negara itupun terancam akan mati.

Apakah Indonesia Membutuhkan STEM?

Negara seperti Amerika Serikat telah mengambil langkah cepat untuk mengurangi devisit SDM dalam bidang STEM. Tak tanggung-tanggung, AS akan membuka lebih dari satu juta lowongan pekerjaan baru pada tahun 2018 nanti, dan mayoritas lowongannya, sebesar 71%, adalah pekerjaan yang berkaitan dengan STEM.

Indonesia bisa mengambil pelajaran dari apa yang negara-negara maju lakukan untuk menjadi pemain global dengan keunggulan dalam bidang STEM. Mereka berlomba-lomba menarik minat warganya untuk berkuliah di jurusan tersebut. Jika ingin bersaing dalam persaingan antar bangsa, pemerintah harus mampu membidani lahirnya ahli-ahli di bidang STEM dari rahim perut ibu pertiwi.

Tapi jangan hanya melahirkan saja, pemerintah juga harus mampu mendidik, membesarkan, merawat, dan membuatkan rumah bagi para mahasiswa lulusan STEM. Karena jika tidak, nanti akan ada negara maju yang siap mengadopsi mereka dan membuatkan rumah yang lebih nyaman. Alhasil, mereka tidak ingin pulang kembali ke tempat yang melahirkan mereka, asyik di rumah barunya.

Mengapa Harus STEM?

Indonesia sangat membutuhkan banyak lulusan STEM. Hal ini karena terjadi kekurangan SDM ahli yang cukup signifikan untuk memenuhi target infrastruktur yang direncanakan pemerintah. Kurang lebih Rp 60 – Rp 100 triliun anggaran infrastruktur yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam tiga tahun terakhir. Sayangnya, bugdet sebesar itu tidak diimbangi dengan tenaga ahli dalam negeri yang mumpuni.

Jumlah insinyur Indonesia adalah yang terendah di ASEAN. Kita hanya memiliki 3.038 insinyur per satu juta penduduk. Jangankan membandingkan dengan Singapura yang memiliki 28.235 insinyur per satu juta penduduk, dengan Filipina dan Vietnam saja kita kalah. Filipina memiliki kurang lebih 5.170 insinyur dimana Vietnam berada pada angka 8.917 insinyur per satu juta penduduk.

Insinyur dan lulusan ilmu STEM sendiri sudah mengiringi proses perjalanan bangsa Indonesia. Bahkan Presiden pertama (Ir. Soekarno) dan ketiga (Dipl. Eng. BJ. Habibie) adalah lulusan sekolah teknik dan bergelar insinyur. Belum jika menghitung para pejabat dan pemangku kebijakan penting yang juga banyak merupakan alumni STEM. Ini karena STEM menuntut kemampuan mahasiswa untuk menyelesaikan masalah secara sistematis dan logis.

Terlebih dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), keunggulan dalam bidang STEM adalah kebutuhan mutlak yang harus segera direalisasikan. Untuk bisa berprestasi dalam bidang olahraga, PSSI saja misalnya, membutuhkan lapangan-lapangan yang bertaraf internasional. Dan siapa yang membangun stadion-stadion itu kalau bukan lulusan STEM dalam bidang teknil sipil, mesin, dan elektro.

Keunggulan dalam bidang STEM juga bersifat domino. Artinya, ia akan mampu menginisiasi keunggulan-keunggulan dalam bidang lainnya seperti dalam olahraga dan kesehatan. Kita bisa saksikan keberhasilan negara-negara yang maju dalam Olimpiade seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang begitu mendominasi prestasinya. Begitu pula dengan harapan hidup penduduknya yang bisa mencapai lebih lebih dari 70 tahun. Manfaat STEM begitu dirasakan dalam berbagai sendi kehidupan.

Dengan peran pentingnya, STEM juga tetap membutuhkan kolaborasi dengan bidang keilmuan lainnya. Kita bisa berkaca pada kasus Steve Jobs contohnya, pria berdarah Arab ini telah merajai dunia teknologi selama beberapa dekade, namun ia bukanlah seorang lulusan IT. Tanpa background bidang keilmuwan komputer, Jobs berhasil memposisikan dirinya di tengah-tengah pemain besar dalam bidang teknologi. Mengapa? Karena Steve Jobs berhasil memberikan sentuhan seni dalam setiap produk yang diciptakannya, satu hal yang kerap dilupakan oleh banyak teknorat di seluruh dunia.

Steve Jobs pernah mengatakan bahwa keberhasilan perusahaan yang didirikannya bukan karena aspek teknologi semata. Apple bisa menjadi pioneer dalam dunia smartphone, komputer, dan tablet karena Apple berhasil mengawinkan antara teknologi dan seni. Ditambah dengan sedikit sentuhan kemanusiaan, jadilah ia produk yang digemari oleh jutaan orang di seluruh dunia. Meskipun demikian, kita tetap harus ingat, bahwa core-business Apple tetaplah dalam bidang teknologi.

Kasus Apple di atas mirip dengan dilemma yang dihadapi banyak perusahaan engineering saat ini. Banyak lulusan sekolah teknik di Indonesia yang kurang mampu menyampaikan ide-idenya dengan jelas ditambah dengan keterbatasan dalam penguasaan bahasa asing. Masalah komunikasi dan bahasa jelas bukanlah ranah bidang STEM. Oleh karena itu, interdisiplin keilmuwan tetap dibutuhkan baik itu perpaduan antaran STEM & Bahasa, Desain, atau dengan bidang-bidang ilmu lainnya.

Peran Aktif Pemerintah

Selain berkolaborasi, penguasaan yang mendalam dalam bidang STEM tetap harus menjadi prioritas utama jika pemerintah ingin meningkatkan daya saing anak bangsa dalam persaingan global.

Usaha pemerintah dalam memberikan beasiswa baik dalam negeri maupun luar negeri juga patut diacungi jempol. Terlebih bidang STEM masuk ke dalam jurusan yang diprioritaskan. Bayangkan jika para penerima beasiswa ini berhasil lulus dan kembali ke tanah air. Dalam waktu 10-20 tahun mendatang, mereka akan saling berkolaborasi positif satu sama lainnya.

Terkait dengan para mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri dan tidak kembali. Indonesia bisa belajar banyak kepada Jepang. Jepang dan negara tetangganya, Korea pernah sama-sama menyekolahkan banyak warganya ke Eropa dan Amerika untuk mendalami ilmu STEM. Namun berbeda halnya dengan orang-orang Korea yang banyak memilih menetap di negara tempat mereka studi, ilmuwan Jepang banyak yang justru kembali ke negeri asalnya untuk berkolaborasi membangun negeri asalnya.

Keberhasilan Jepang di atas patut kita contoh, untuk menjaga agar para putra-putri terbaik bangsa yang telah disekolahkan pemerintah agar tidak dibajak oleh bangsa asing. Pemerintah tentunya harus menyiapkan langkah-langkah yang tepat. Beberapa usaha telah dilakukan, mulai dari memberikan kontrak yang isinya mengikat para penerima beasiswa untuk pulang dan mengabdi kepada Indonesia sampai memberikan jaminan yang jelas bagi para alumni lulusan STEM.

Jika kita mengkaji alasan tidak pulangnya para diaspora Indonesia di luar negeri. Faktor utama terbesar keengganan mereka untuk pulang ternyata bukanlah perkara gaji. Tapi lebih kepada kepastian karir dan seberapa besar ilmu yang telah mereka pelajari di negara maju bisa diterapkan di tanah air. Ketika bersekolah di luar negeri, mereka dihadapkan pada alat-alat yang canggih dan sistem yang sangat rapih. Inilah PR terbesar pemerintah jika ingin memastikan SDM hebat Indonesia tidak lari ke luar negeri.

Kesimpulan

STEM telah mampu membuat negara yang kalah perang seperti Jepang untuk berubah dan menjelma menjadi sebuah negara maju yang patut diperhitungkan. Penguasaan dalam bidang STEM adalah faktor penting bagi Indonesia untuk meninggalkan statusnya sebagai negara berkembang.

Indonesia harus mampu unggul dalam bidang STEM. Dengan adanya pemberian beasiswa, kolaborasi positif antar berbagai disiplin ilmu, ketegasan dan jaminan berkarya yang jelas dari pemerintah, efek positif dari STEM akan dapat berkontribusi positif terhadap kemajuan bangsa Indonesia dalam persaingan antar bangsa-bangsa di dunia.

Ibham Veza
Dosen teknik mesin UBK
ibham-veza.com

Categorized in: