Tarif Dasar Listrik (TDL) merupakan harga satuan dasar yang boleh dikenakan oleh pemerintah kepada pelanggan PT. PLN (Persero). Dalam pengelolaan ketersediaan sumber daya listrik, PT. PLN (Persero) merupakan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang deberikan wewenang oleh pemerintah untuk melakukan pengaturan kepentingan masyarakat umum.
Memasuki awal tahun 2017, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) mengumumkan bahwa rencana penyesuaian tarif dasar listrik akan dilakukan secara bertahap terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017. Terealisasi dengan diundangkannya Peraturan Menteri ESDM No. 18 tentang perubahan atas peraturan menteri ESDM No. 28 tahun 2016 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT. PLN (Persero) pada bulan Februari 2017.
Pelanggan PT. PLN (Persero) terbagi menjadi dua, yang subsidi dan non-subsidi. Sebelum perubahan atas perundangan tersebut diundangkan, yang termasuk ke dalam golongan subsidi adalah golongan daya R1/450 VA dan R1/900 VA. Namun dalam perjalanannya terdapat instruksi untuk pemakai daya 450 VA agar segera pindah ke golongan daya R1/ 900VA mengingat sama-sama mendapatkan subsidi. Akhirnya seperti yang diinginkan oleh pemerintah, sebagian pengguna daya 450 VA beralih ke daya 900 VA. Pucuk dicinta ulampun tiba, pemerintah melancarkan aksinya dengan membagi daya 900 VA tersebut menjadi subsidi (R1/ 900 VA) dan non-subsidi juga (R1/ 900 VA-RTM). Mengingat adanya perubahan atas peraturan menteri no. 28 tahun 2017 yang berlaku sejak tahun 2017.
Sedangkan pelanggan PT. PLN (Persero) non-subsidi memiliki 12 golongan, yaitu R-1/TR 1.300 VA, R-1/TR 2.200 VA, R-2/TR 3.500 VA s.d. 5.500 VA, R-3/TR ≥ 6.000 VA, B-2/TR 6.000 s.d. 200 kVA, B-3/TM > 200 Kva, I-3/TM >200 Kva, I-4/TT ≥30.000 Kva, P-1/TR 6.600 VA s.d. 200 Kva, P-2/TM >200 Kva, P-3/TR, L/TR, TM, TT dengan tarif proporsional Rp1.457,28.
Setelah penyesuaian tarif sejak awal diberlakukan, pengguna daya 900 VA akan merasakan kenaikan bertahap, yaitu per dua bulan sekali. Pertama untuk periode Januari sampai Februari (kenaikan dari Rp605,- menjadi Rp791,- per kwh), Periode Maret sampai April (kenaikan sampai Rp1.034 per Kwh) dan Periode Mei sampai Juni (kenaikan sampai Rp1.354,-). Lalu, pada 1 Juli 2017 sebagaimana yang telah diundangkan, daya listrik 900 VA akan menambah deret kategori non-subsidi menjadi 13 golongan.
Dalil pertama yang digunakan pemerintah untuk mencabut subsidi pengguna daya listrik 900 VA adalah karena subsidi tidak tepat sasaran. Sacara singkat, awalnya pemerintah merayu masyarakat pengguna daya R1/ 450 VA untuk beralih ke daya R1/ 900 VA karena sama-sama memiliki subsidi dan memiliki daya yang lebih besar. Ditelisik kembali bahwa semakin besar daya yang dimiliki, tentu akan menambah konsumsi rumah tangga atas pemakaian listrik. Ini berarti pemerintah memang mengaminkan masyarakat meningkatkan konsumsinya.
Kemudian setelah sebagian beralih ke daya R1/ 900 VA, pemerintah membaginya lagi menjadi daya R1 900 VA (yang akan tetap dapat subsidi) dan daya R1/ 900 VA-RTM (yang akan masuk menjadi golongan non-subsidi). Perlu diketahui bahwa tarif non-subsidi untuk periode April sampai Juni 2017 adalah sebesar Rp1.457,28, dan masih akan memungkinkan naik pada periode selanjutnya, tergantung pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi biaya pokok penyediaan tenaga listrik, seperti kurs tukar dollar dengan rupiah, ICP (Indonesian Crude Price), dan tingkat inflasi.
Dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga, pasti ketersediaan dana juga difasilitasi oleh pemerintah. Secara makro, jika banyak uang beredar disertai dengan permintaan yang tinggi, maka dapat terjadi inflasi. Jadi inilah yang dimaksud pemerintah. Dengan dorongan faktor inflasi, terlebih akhir bulan Juni merupakan masa dimana permintaan atas bahan pangan meningkat karena ada momen hari raya. Pemerintah akan merasionalisasikan kenaikan tarif dasar listrik untuk periode selanjutnya.
Bagi sektor UMKM, kenaikan tarif dasar listrik ini bagaikan penyediaan inhaler gas beracun yang disediakan oleh pemerintah, dan dengan muslihat yang rapih mau-tidak mau para pengusaha UMKM harus menghirupnya. Lantas, tidak perlu ditanya lagi. Para pengusaha UMKM tinggal menunggu ajal menjemput. Bagi sektor UMKM, listrik merupakan hal yang sangat penting, mengingat belum optimalnya sumber daya pengganti selain listrik yang ramah terhadap kondisi keterbatasan mereka. Jika pengusaha UMKM merasakan kenaikan tarif dasar listrik, maka dapat dipastikan mereka akan memutar otak agar tidak rugi. Salah satu caranya adalah membebankan tambahan tersebut ke harga produksi. Nantinya semua akan dikembalikan kepada konsumen. Berdasarkan teori perilaku konsumen, saat ini konsumen sudah memiliki pandangan luas dan dapat memilih yang lebih sesuai dengan selera maupun kemampuannya. Sehingga yang paling memungkinkan adalah konsumen tidak tertarik dengan produk UMKM yang menawarkan harga tinggi dengan kualitas sama. Inilah poinnya. Produk UMKM tidak laku akibat harga tinggi. Dalam kurun waktu beberapa bulan jika pengusaha tidak mendapat profit, tentu saja usahanya dapat gulung tikar.
Kebijakan pemerintah seperti ini lah yang tidak pro terhadap rakyat. Dibanding negara lainnya, bahkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, optimalisasi sektor UMKM Indonesia tidak dapat dibandingkan. Karena sangat jauh. Apalagi pascakenaikan tarif dasar listrik. Seharusnya pemerintah memiliki itikad baik terhadap rakyat kecil. Setidaknya dengan mendukung aktivitas usaha mereka. Bukan justru meracuni, bagai pestisida terhadap hama.
Solusi yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah dengan tidak mengambil pilihan menghapus subsidi dan menaikkan tarif dasar listrik secara bertahap demi tujuan menghemat APBN, terlebih konsumsi atas listrik maupun bahan bakar. Seharusnya pemerintah dapat lebih inovatif dengan memberi alternatif pengganti listrik, sumber daya atau bahan bakar terbarui seperti optimalisasi panel surya, atau pembangkit listrik tenaga matahari, dan memaksimalkan sosialisasinya agar sampai ke masyarakat.
Realita saat ini pemerintah menaikkan tarif listrik tanpa memberi suatu alternatif bagi masyarakat sebagai pengganti jika tidak sanggup menggunakan listrik. Lalu apa masyarakat yang tidak mampu membayar tagihan setiap bulannya harus mencopot pemakaian listrik? Bukankah ini justru tidak koheren dengan niat pemerintah yang ingin meluaskan penggunaan listrik ke pelosok-pelosok. Jika masyarakat kota saja tidak mampu untuk memenuhi tagihannya, bagaimana dengan penduduk pelosok yang berdasarkan fakta, tingkat ekonominya masih berada dibawah masyarakat kota.
Maka kenaikan tarif dasar listrik bukanlah solusi tepat untuk menekan konsumsi masyarakat atas listrik atau bahan bakar. Tetapi ini adalah upaya pembunuhan masal. Kebijakan yang sangat tidak pro terhadap masyarakat. Pemerintah dapat belajar dari Jepang yang sangat mengoptimalkan tenaga alternatif yang ramah harga dan lingkungan. Atau kepada Uni Emirat Arab, yang secara ketersediaan bahan bakar melimpah, namun tetap mengoptimalkan tenaga alternatif terbarui untuk kebutuhan masyarakatnya. Bukan justru menaikkan tarif dasar listriknya. Jika pemerintah menginginkan rakyat meringis dan diambang ajalnya, maka lanjutkan kenaikan tarif dasar listrik ini. Tapi jika pemerintah menghendaki rakyatnya merasakan kebahagiaan hakiki, maka wajib berinovasi.
Oleh : Nadya Rizma Septiarini
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang tariff tenaga listrik yang disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)