Izinkan penulis menuliskan sesuatu mengenai kondisi kampusnya, yang bisa jadi ini wujud cinta penulis pada miniatur peradaban kita, kampus kita. Dengan melawan sebagai jalannya. Memang terdengar destruktif, namun tidak selalu denotasi dari kalimat yang terdapat kata lawan bermakna negatif. Melawan yang dimaksud ialah suatu usaha untuk meredupkan ketakutan pada jiwa penulis untuk menggelorakan keberanian –dengan berusaha menghilangkan kekhawatiran bila kemudian tulisan ini (bisa jadi) dipermasalahkan- untuk menuliskan sesuatu yang dirasa perlu. Sebab cinta. Untuk perbaikan.

Kekhwatiran yang –coba diredupkan memang wajar- ada, disebabkan oleh akumulasi rentetan potret keadaan yang telah terjadi. Dominasi-dominasi dari sekumpulan orang yang memiliki kekuasaan yang telah mem-pressure orang-orang yang tak memiliki daya. Semisal SK DO yang pernah dilayangkan kepada salah seorang senior, bang Ronny Setiawan, selaku Ketua BEM UNJ 2015 yang karena kekritisannya SK itu dilayangkan. Kendatipun SK tersebut kemudian dicabut setelah ribuan orang menandatangani petisi online yang mendesak SK DO tersebut segera dicabut.

Yang aktual, beberapa hari lalu, salah seorang rekan saya, Dwi Agus Hendardi, yang namanya sudah beredar luas karena tulisan Burhanudin –yang kemudian akan saya panggil bang Burhan- selaku ketua BEM FIO 2017 yang berisi mosi keberatan atas tindakan yang ditimpakan pada Dwi Agus Hendardi.

Dwi dan rekan-rekan yang lain mencoba melakukan agitas massa pada aksi 2 Mei yang kemudian dicegah melanjutkan agendanya oleh beberapa dosen –yang disebut oknum dosen oleh bang Burhan- dan teman-teman menwa dari kesaksian bang Burhan dalam tulisannya karena suara dari mobil sound dianggap membuat bising dan mobil sound dianggap membuat kemacetan, kendatipun teman-teman yang ada saat itu telah mencoba bernegoiasi untuk mengecilkan volume suara sound dan menambah laju mobil sound tetap saja dicegah. Yang dengan itu domokrasi kita telah dicederai, mengingat itu seperti usaha mendeklinasi pergerakan mahasiswa yang tengah menyampaikan pendapat, padahal penyampaian pendapat dijamin UUD 1945 pasal 28E ayat (3), UU No. 9 tahun 1998 dan UU No. 39 pasal 25 .

Dari situ, Dwi yang juga berada di sana kemudian mendapat rentetan masalah setelah disebut membentak saat menjawab pertanyaan yang awalnya ia enggan menjawabnya –karena khawatir, dengan iklim Fakultas yang (mungkin) berbeda dari yang lainnya- ketika ditanya mahasiswa prodi apa dan ia pun disebut dengan bangganya menyebutkan apa organisasi keolahragaannya. Padahal dalam pengakuannya pada saya, ia tidak sama sekali melakukannya dan didukung oleh bukti rekaman yang dimiliki bang Burhan. Atas klaim sepihak yang mengklaim Dwi membentak dan disebut Dwi membangga-banggakan salah satu organisasi, lantas itu membuatnya dipinta untuk keluar dari BEMP tempatnya studi atau jika tidak BEMP akan dibubarkan. Juga Dwi mengaku pada saya ia dikucilkan dicabor yang ia tekuni.

Secara tak langsung pihak yang melakukan tersebut memberikan sinyalemen bahwa mereka memiliki daya untuk mendominasi si powerless untuk akhirnya memperingati siapa saja yang ingin bersikap kritis –dengan aksi demonstrasi dan lain-lain- akan bernasib sama seperti Dwi, khususnya di Fakultas tempat Dwi studi. Sepakat jika kemudian bang Burhan menyebut ini sebagai pembunuhan karakter. Dalam praktiknya pembunuhan karakter dilakukan dengan sistematis dan metodis dengan cara menyebarkan gibah, berita bohong, fitnah maupun tekanan fisik, sampai pada pemusnahan jiwa. Dengan maksud merusak mental, reputasi, dan kepercayaan diri seseorang atau kelompok (Rully Indrawan, 2014).

Bukankah kampus dimana kita studi ini dikenal sebagai kampus yang melahirkan guru-guru yang kemudian akan memegang estafet berupa amanah untuk terus mencerdaskan generasi selanjutnya?

Bukankah kampus dimana kita studi ini dikenal sebagai kampus yang melahirkan guru-guru yang kemudian akan memegang estafet berupa amanah untuk terus mencerdaskan generasi selanjutnya? Yang begitu paham begitu fatalnya melakukan pembunuhan karakter, walaupun pembunuhan karakter di kelas berupa pemunculan kalimat negatif, kelemahan serta kekurangan yang dimiliki anak (Alif Muarifah, n. d). Lalu kenapa jika Dwi tidak melakukan apa yang demikian tadi –yang disebut membentak dan membangga-banggakan sesuatu-, malah disebut melakukan tindakan tersebut yang akhirnya merugikannya? Jika pun iya apa lantas mendidiknya dengan berupa tindakan yang menyebabkan ia mesti dikucilkan dari cabornya dan dipaksa memilih keluar dari BEMP atau jika tidak BEMP akan dibubarkan?. Motif kekuasaan selalu menjadi pemicu munculnya fenomena pembunuhan karakter (Rully Indrawan, 2014).

Yakinilah, bersamaan dengan tindakan yang keliru –jika Dwi dituduhkan bukan atas apa yang telah dia lakukan dan mendapati sesuatu yang tidak seharusnya- tersebut akan timbul resistensi atas tindak jahat Character Assassination yang menimpa Dwi dengan berbagai tanggapan berupa tulisan dan lain-lain. Seperti petisi pencabutan SK DO bang Ronny Setiawan.

Resistensi berarti; melawan, menentang, perlawanan. James C. Scott memaknai perlawanan “sebagai usaha untuk menahan atau membalas kekuatan…” (James C. Scott, 2000: 328)

Pemilihan kata “melawan” berkonotasi positif bila dikonstruksi dengan kalimat tertentu –yang baik denotasinya-. Sebagaimana melawan kemalasan untuk akhirnya membersamai ketekunan. Dengan melawan semisal demikian tentu akan membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Juga melawan-benamkan keapatisan untuk akhirnya memunculkan kepekaan dan kepedulian yang melahirkan kekritisan.

Hegemoni sekarang ini, menurut saya yang faqir pengetahuan ini disebabkan kita belum mengikhtiarkan diri untuk menjadi pribadi yang memiliki keingintahuan tinggi. Juga kita belum mencoba merasakan apa yang dirasakan orang lain. Aksi penolakan terhadap uang pangkal yang diberlakukan bagi mahasiswa baru jalur mandiri tahun lalu terjadi dengan massa yang banyak karena kita sama-sama telah merasakan atau mencoba merasakan apa yang dirasakan rekan kita terhadap biaya pendidikan yang tinggi.

Baca juga: Wajah Kampus Mulai Bopeng?

Lalu, jika kemudian kita menjadi pribadi yang kritis apa mungkin kita masih merasa kalau semua ini baik-baik saja? Apa kemudian kita turut mempertanyakan UKT kita untuk apa? Biaya apa saja yang seharusnya tak perlu merogoh kantong kita lagi? Bagaimana mekanisme penentuan UKT? Bagaimana akhirnya pendistribusian BOPTN untuk mengurangi BKT dan menghasilkan satuan UKT? Bagaimana penentuan BKT? Bagaimana cara pimpinan kampus untuk mencegah mahasiswanya putus kuliah karena keterbatasan ekonomi keluarga, apa dengan mudahnya dipinta untuk cuti sedangkan cuti pun mesti mengeluarkan biaya? Untuk siapa pendidikan kita? Hanya untuk orang-orang yang kemudian mencukupi hartanya? dan pertanyaan-pertanyaan semisalnya. Lalu jika kita mendapat jawabannya maka kita akan tahu apa kita sedang baik-baik saja atau tidak. Jika kemudian kita tidak diperkenankan mendapati transparansi mengenai itu, apa sesuatu yang baik-baik saja lantas ditutupi? Dengan melawan ketidak acuhan kita dan menemani kepedulian bukankah akan dekat dengan perubahan? Melawan kemasabodohan dan mendekap keingintahuan bukannya akan menjemput perubahan?

Kalau saja dahulu Sutan Sjahrir kalah melawan tendensi pribadinya, apa mungkin ia akan rela cuti dari perkuliahannya dan kembali ke tanah air untuk mengurusi PNI-Baru yang ia dirikan dengan Hatta untuk membuat mozaik yang membentuk Indonesia yang seutuhnya tanpa ketertindasan?

Kalau saja Hatta tak peduli dengan bangsa ini, apa mungkin Hatta sedemikian bertekadnya memerdekakan Indonesia sampai memberikan syarat pada dirinya sendiri untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka? Bukankah itu bukti kuatnya dedikasi almarhum untuk memerdekakan negeri ini? bukti cinta dengan memendam tendensi pribadi untuk perubahan besar pada bangsa yang sekian lama kolonial rongrongi.

Dalam paragraf ini dan berikutnya ingin akhirnya memunculkan tanya kita semua dengan mengulangi apa yang telah Pak Ubedilah tuliskan, dengan menuliskan kembali tiga ciri kampus sebagai miniatur peradaban ialah memiliki Kultur Intelektual, Kultur Demokratis dan Kultur Profesional yang dibingkai dalam kredo Tridharma Perguruan Tinggi (Ubedilah Badrun, 2006).

“sejauh mana penguasa kampus mendorong kemajuan intelektual ini?”

Mengenai ketiga kultur tersebut agaknya sudah gamblang dituliskan oleh Pak Ubedilah Badrun dalam tulisannya yang berjudul “Wajah Kampus Mulai Bopeng?” yang dalam menilik kultur akademik kita, lalu muncul tanya, “sejauh mana penguasa kampus mendorong kemajuan intelektual ini?”. Sebab mereka yang akhirnya menentukan arah kebijakan kampus untuk membangun kultur intelektual yang baik di kampus berupa pembiayaan dan keberpihakan pada dosen dan mahasiswa. Melihat fakta peringkat kampus kita yang duduk di peringkat 60, sudahkah kebijakan-kebijakan tersebut diarahkan pada pembiayaan dan keberpihakan pada dosen dan mahasiswa yang kemudian akan mempengaruhi peringkat kampus itu sendiri?

Dalam melihat kultur demokratis apa kultur tersebut sudah mendaging di tengah-tengah kita melalui upaya penguasa kampus? Apa upaya tersebut malah meluruh akibat kedua contoh kasus di awal tulisan ini?.

Lalu, Mengenai indikator terakhir, saya dan –mungkin- kita semua berhasil dibuat melawan ketidakacuhan kita untuk akhirnya merasa ingin tahu seperti apa hasil pemeriksaan inpektorat dan BPK. Apakah baik-baik saja?.

Mengenai tiga indikator tadi, beliau, Pak Ubedilah Badrun, menuliskan, ”Dari indikator tersebut dapat disimpulkan tidak sedikit kampus memiliki kelemahan terbesar pada kultur intelektual, tetapi kampus tercinta ini meski terus bekerja keras tetapi masih saja didera kelemahan pada indikator lainnya.”

Kenapa kampus yang letak geografisnya di ibu kota negara masih saja nyaman bercokol di peringkat 60 dari 100 kampus di Indonesia berdasar data kemenristekdikti tahun 2015?

Indikator pemeringkatan yang dapat dilihat dari SK Kemenristekdikti No. 492.a/M/Kp/VIII/2015 memuat beberapa unsur, di antaranya; kualitas SDM, kualitas manajemen, kualitas kegiatan kemahasiswaan, dan kualitas penelitian dan publikasi ilmiah. 3 (tiga) dari 4 indikator –selain kualitas manajemen- berkaitan dengan kultur intelektual sebagai ciri kampus sebagai miniatur peradaban yang telah coba diuraikan di atas. Dimana ketiga indikator tersebut erat kaitannya dengan kebijakan yang penguasa kampus tetapkan. Yang satu erat kaitannya dengan kultur profesional. Lalu pertanyaannya, kenapa kampus kita ada diurutan buncit di posisi 60, apa yang menyebabkan itu semua? Semoga ini menjadi renungan bagi kita semua.

Semoga dengan tanya-tanya yang ada dalam kepala kita sekarang ini membuat kita untuk akhirnya mau tahu. Mau untuk bergulat melawan kemalasan kita untuk mencari tahu. Mau untuk mengorganisasikan mata, akal, kaki dan tangan yang telah dianugerahkan Rabb Pencipta Alam untuk meresistensi tindakan yang didasari atas prinsip kesenangan (id) dengan membiasakan membaca yang biasa kita sering kali alpa, mencoba memaksimalkan akal untuk berpikir demi kemaslahatan orang banyak daripada “membeku” dengan melulu diistirahatkan, menggerakkan kaki ke tempat-tempat ilmu atau menyaksikan sudut-sudut kota yang kadang tak ramah bagi sebagian orang daripada berdiam diri. Menggunakan tangan membantu sesama, menulis dan kebermanfaatan lainnya daripada tak melakukan apa-apa. Mau untuk menyisihkan waktu memuaskan dahaga keingintahuan kita, dengan diskusi, mengkaji dan lain-lain dengan sebelumnya melawan kemalasan kita.
Semangat melawan untuk perubahan!

Oleh: Asrul Pauzi Hasibuan (Mahasiswa UNJ)

Categorized in: