Kegaduhan tidak hanya terjadi di lapis elit politik, awal tahun 2016 kegaduhan juga terjadi di dunia kampus. Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ronny Setiawan dipecat atau diberhentikan sebagai mahasiswa oleh Rektor UNJ Prof.Dr.Djaali dengan SK bernomor 01/SP/2016. Ronny Setiawan dipecat karena kritik-kritik Rony dan kawan-kawannya yang pedas dan memekakkan telinga sang Rektor dan dinilai sebagai fitnah, penghinaan dan penghasutan.
Sebuah peristiwa menggelikan dari sebuah institusi terhormat. Universitas yang seyogyanya menjadi laboratorium demokrasi dan miniatur peradaban justru menodai demokrasi. Sontak saja sudah diduga dalam hitungan menit dan jam ribuan bahkan puluhan ribu dukungan melimpah untuk Ronny. Hastag #save Ronny #save UNJ menjadi trending topic nasional dan bahkan dunia. Ribuan aktivis mahasiswa siaga turun ke jalan, alumni UNJ dan para aktivis 98 konsolidasi. UNJ gaduh karena peristiwa ini, majelis rapat pimpinan UNJ akhirnya sepakat agar Rektor Djaali mencabut SK bernomor 01/SP/2016, dan benar kemudian SK dicabut. Rekonsiliasi terjadi dan politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini hadir. Fakta ini memicu spekulasi dan interpretasi ada semacam aroma klaim Jazuli Juwaini dan politisasi kampus. Benarkah?
Bagaimana fakta di atas bisa dijelaskan? Narasinya bisa panjang tetapi penulis yang kebetulan secara intens memantau dinamika ini dan sedikit menarik jarak (semacam observasi partisipatif) agar tidak terjebak subyektivitas berfikir, menemukan satu hipotesis yang penulis sebut Pola Baru Gerakan Mahasiswa. Hipotesis pola baru gerakan itu bukan karena kehadiran Jazuli Juwaini sebab Jazuli itu yang kebetulan mahasiswa S3 UNJ datang belakangan di penghujung kisruh BEM dan Rektor ini
Tradisi Kritis dan Independensi Gerakan Mahasiswa UNJ.
Sebelum penulis uraikan hipotesis di atas ada baiknya satu paragraf penulis uraikan sejarah penting Gerakan Mahasiswa UNJ sebagai pijakan kultur gerakannya yang berbasis tradisi intelektual dan independen, yang ditularkan dari generasi ke generasi. Ini penting juga dipahami oleh para pejabat UNJ agar tidak bertindak sewenang-wenang pada mahasiswa. Data historis Gerakan mahasiswa UNJ (IKIP Jakarta) memiliki akar sejarah panjang dan semangat perlawanan panjang kepada rezim yang anti demokrasi sejak angkatan 66, bahkan Rektor dan Pembantu Rektor di era 1970an pernah merasakan kekejaman rezim diktator.
Rektor Deliar Noer dipecat, Pembantu Rektor 3 Arief Rachman dipenjara. Rektor Conny R Semiawan menghadapi represi rezim. Aktivis PIJAR Tri Agus dipenjara karena melawan rezim diktator. Spirit perlawanan itu kemudian melekat dari generasi ke generasi hingga era 80-an yang dikenal dengan Rawamangun berkabung dan era 90-an yang menjadi basis gerakan lahirnya organisasi penting FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta) pada 23 Maret 1996 dan SEMAR (Serikat Mahasiswa Rawamangun) yang kemudian bermetamorfosis dari proses konsolidasi kota dengan kampus lain menjadi FORKOT (Forum Kota). Kedua organisasi mahasiswa ini kemudian menjadi motor penting bersama organisasi mahasiswa lainya dalam gerakan mahasiswa yang kemudian menjatuhkan rezim diktator pada 21 Mei 1998.
Relevansi konteks historis itu dalam kasus gerakan mahasiswa melawan tindakan pemecatan adalah tradisi kritis dan independensinya. Bahwa BEM UNJ jauh sebelum hingar bingar Pemecatan Ronny, BEM telah melakukan diskusi intensif berdasarkan data-data yang mereka temukan dengan model pendekatan nalar induktif maupun deduktif dan ini sudah menjadi tradisi penting semacam kultur gerakan mahasiswa UNJ. Bahwa tidak ada dan tidak mungkin mereka aksi tanpa diskusi. Itulah sebabnya tidaklah mudah memprovokasi mahasiswa untuk demo.
Penelusuran penulis menemukan bahwa diskusi-diskusi mengumpulkan data problem program studi dan fakultas itu dilakukan secara intensif oleh aliansi mahasiswa UNJ bersatu. Proses ini sebenarnya sedang berjalan dan mau dilakukan semacam triangulasi dalam perspektif riset kualitatif yaitu cross check dengan mengajukan permohonan langsung dialog dengan Rektor atau menyampaikan hasil focus group discussion mereka berupa 7 tuntutan mahasiswa (Tunas). Sayangnya permohonan itu mandeg karena Rektor beralasan belum ada waktu yang tersedia untuk berdialog. Mandegnya dialog inilah pemicunya. Mahasiswa memerlukan semacam public sphere untuk meluapkan aspirasinya, dan kanal yang paling mudah untuk meluapkan aspirasi di era cyber ini adalah media sosial seperti facebook, twitter dan lain lain. Mahasiswa meluapkan aspirasinya di media sosial dan pada tahapan inilah Rektor terhenyak dan meresponnya secara buru buru dengan mengeluarkan SK pemecatan kepada Ronny Setiawan.
Mengapa Mahasiswa UNJ Bergerak?
Sampai di sini kita perlu bertanya mengapa mahasiswa UNJ bergerak dan Apa yang mereka perjuangkan? Ini persoalan internal UNJ yang sedang giat menata kampus menjadi World Class University, di tengah upaya ini tentu sejumlah persoalan menyertainya, dan mahasiwa meresponnya dengan kritis dengan 7 tuntutan. Jadi sesungguhnya sikap kritis mahasiswa adalah respon dari perubahan agar perubahan lebih menyentuh aspirasi mereka sebagai stakeholders utama UNJ. Ada satu perspektif untuk sedikit menjawab mengapa mahasiswa bergerak? Penulis menemukan cerita Ernest Mandel (1968) ketika berpidato di New York University tanggal 21 september 1968 dalam pertemuan Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa, bercerita seperti berikut ini: beberapa hari yang lalu, ketika berada di Toronto, salah satu pendidik Canada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa.
Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu secara mendasar bersifat material. Tetapi bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan, bukan karena mereka diperlakukan seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas.
Cerita di atas membuka perspektif kita bahwa sistem yang diciptakan kampus sesungguhnya memungkinkan mahasiswa bergerak bersikap kritis, jadi tidak perlu reaktif dan terburu buru merespon sikap kritis mahasiswa karena kampus telah menciptakan semacam struktur sosial yang diciptakannya sendiri. Karenanya menjadi elit kampus sarat dengan resiko dikritik mahasiswa. Dengan perspektif semacam itu maka kritik itu hal biasa yang niscaya ada di kampus.
Hal-hal realistik yang dihadapi mahasiswa seringkali juga lebih kuat menjadi faktor pendorong dari munculnya gerakan mahasiswa. Arbi Sanit misalnya mengemukakan bahwa ada lima faktor yang menjadikan mahasiswa peka dengan masalah kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak diantara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat. (Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999). Pandangan Arbi Sanit ini juga memberikan perspektif bahwa sikap kritis mahasiswa adalah hal yang tidak bisa dihindari oleh kampus. Jangankan kampus, pemerintah saja dikritik.
Pola Baru Gerakan
Dalam dinamikanya sikap kritis mahasiswa ini mendorong munculnya sikap kritis secara kolektif yang kemudian bermetamorfosis menjadi gerakan mahasiswa. Bentuk gerakanya bisa realis-kritis maupun radikal-revolusioner. Penulis mencermati bahwa gerakan yang dilakukan mahasiswa UNJ itu masih katagori gerakan realis-kritis, bukan gerakan radikal-revolusioner yang menghalalkan kekerasan. Gerakan mahasiswa realis-kritis ini adalah mereka yang berfikir realistik tetapi sambil mengusung sejumlah agenda dengan cara-caranya yang kritis. Artinya gerakan mahasiswa mirip di posisikan sebagai Koboi sebagaimana yang pernah di ulas So Hok Gie mengutip siaran radio Ampera dalam Zaman Peralihan.
Bahwa perjuangan mahasiswa adalah seperti perjuangan Koboi. Seorang Koboi datang disebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan, dan ketidakadilan. Koboi ini menantang sang bandit berduel, dan ia menang. Setelah banditnya mati, penduduk kota yang ingin berterima kasih mencari sang Koboi. Tetapi ia telah pergi ke horizon yang jauh. Ia tidak ingin pangkat dan sanjungan. Ia akan datang lagi kalau ada bandit-bandit lain yang berkuasa. Ini yang kemudian dikenal sebagai moral force (Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Gagas Media, 2005).
Menariknya gerakan mahasiswa UNJ melawan tindakan pemecatan tidak langsung menggerakan ribuan mahasiswanya yang sudah siaga untuk demonstrasi besar menyeruduk rektorat seperti serbuan pasukan koboi, tetapi memanfaatkan media sosial sambil berupaya melakukan rekonsiliasi. Gerakan mahasiswa berbasis media sosial pada tahap sebelum turun aksi dijalanan ternyata berbuah efektif. Memiliki daya tekan dan daya konsolidasi yang massif. Ini tidak mudah dan memerlukan strategi.
Baca juga: Tri Dharma Perguruan Tinggi, Hal yang harus mahasiswa baru ketahui.
Berpadunya independensi gerakan mahasiswa realis-kritis, pemanfaatan sosial media, sinergi bersama kekuatan-kekuatan lainnya seperti aliansi mahasiswa UNJ bersatu, tim aksi UNJ, komunitas dosen, ikatan alumni UNJ, mantan aktivis BEM UNJ lintas generasi, aktivis 98, BEM SI dari seluruh Indonesia, para aktivis senior, kelompok prodemokrasi, dan lain-lain telah membentuk apa yang penulis sebut sebagai pola baru gerakan mahasiswa. Buah dari pola baru ini Rektor meresponnya secara cerdas memenuhi keinginan mahasiswa dan nalar publik dan Ronny Setiawan kembali menjadi mahasiswa UNJ.
Tetapi rekonsiliasi ini masih menyisakan persoalan tentang 7 tuntutan mahasiswa dan upaya pemolisian sejumlah mahasiswa lainya yang tidak mau minta maaf dan tidak mau mencabut kritiknya yang menyebar ke media sosial. Agenda mahasisswa UNJ untuk turut mrmbangun UNJ masih banyak, agenda memperjuangkan rakyat secara luas juga masih menganga di depan mata. Maka gerakan mahasiswa sejatinya tidak akan lekang oleh waktu.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!