UNJKita.com — Belakangan ini Aksi Nyalakan Lilin (ANL) secara maraton dihelat di beberapa daerah di tanah air seperti Jakarta, Bandung, Jogja, hingga ujung timur Indonesia di Manokwari. Aksi ini adalah bentuk protes massa atas penahanan Basuki Tjahaja Poernama atau yang biasa disapa Ahok. Pada pelaksanaannya, aksi digelar dengan menyalakan lilin secara bersama di satu lokasi pada malam hari pada kisaran pukul 19.00-22.00 waktu setempat.

Seiring berjalannya waktu, banyak nada-nada miring menyebut ANL terkesan melangar aturan dengan melaksanakan kegiatan penyampaian aspirasi pada malam hari dan pada satu waktu dilaksanakan pada hari besar satu agama. Pada statement-statement tersebut banyak yang kemudia membandingkan ANL dengan kegiatan penyampaian aspirasi lain seperti aksi mahasiswa, buruh, nelayan, dll. Bahkan dalam satu kasus, banyak orang yang membandingkan ANL dengan Aksi Bela Islam (ABI) pada 4 November lalu yang berakhir dengan aksi represif aparat yang salah satunya diakibatkan karena massa ABI tetap melaksanakan kegiatan walau sudah melewati jam 18.00 WIB.

Berikut cuplikan statement dari Kadiv Humad Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar pada media berita online Detik.com saat pembubaran ABI “Disepakati 18.00 WIB unjuk rasa harus selesai. Unjuk rasa tidak bisa sebebas-bebasnya. Ada Undang-undangnya.” Dalam statement tersebut kemudian tidak disebutkan mengacu pada Undang-undang mana yang mengatur batas kegiatan penyampaian suara dibatasi pada jam 6 sore.

Kemudian kita lompat mundur ke tahun 2012, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi, Rikwanto (saat itu) menerangkan UU mana yang dimaksud membatasi waktu aksi “Kalau soal batas waktu, sesuai UU No. 9 tahun 1998 batasnya sampai enam sore. Jadi jam lima sore sudah warning dan mulai beres-beres.” (berita lengkapnya disini) Dan yang terbaru adalah statement Kapolres Jakarta Pusat Kombes Suyudi Ario Seto “Ya aksi tetap dibatasi sesuai aturan 18.00 WIB,” ketika menanggapi aksi massa pro Ahok saat dilakukan penahanan pasca keputusan sidang(berita lengkapnya disini).

Sebelum kita beranjak lebih jauh mari sejenak kita buka kembali UU No. 9 tahun 1998 tentang KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM (klik di sini) Kegiatan menyampaikan pendapat sendiri disini dimaksudkan dalam beberapa kegiatan sesuai pasal 9 ayat 1 yaitu : unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan atau mimbar bebas. Dan muka umum sendiri yang dimaksud adalah tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali : lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat,dan obyek-obyek vital nasional

Kembali soal batas waktu, ternyata disana (UU 9 1998) tidak mengatur tentang batas waktu dalam melakukan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum. Peraturan yang mengatur batas waktu aksi sampai pukul 18.00 waktu setempat sendiri ternyata berasal dari Peraturan Kepala Polisi (Perkap) No. 9 tahun 2008 (bisa dibuka di sini). Disana secara jelas pada pasal 6 ayat 2 (a) tertulis bahwa kegiatan penyampaian pendapat di muka umum hanya dapat dilaksanakan pada pukul 06.00 s/d 18.00 waktu setempat.

Tentu hal ini menjadi sebuah hal yang patut dipertanyakan terkhusus bagi penulis sendiri yang beberapa kali terlibat pada aksi-aksi penyampaian aspirasi di ruang publik. Selain statement-statement salah data dari para petinggi-petinggi pihak kepolisian tadi, fakta lapangan juga sering penulis dapati bahwa aparatur keamanan negara ini melakukan upaya-upaya represif pada kegiatan-kegiatan penyampaian aspirasi di ruang publik ketika waktu pelaksanaan kegiatan melewati pukul 6 sore.

Bahkan dalam sebuah wawancara singkat, mantan pengacara publik LBH Jakarta Handika Febrian menyoroti ketidak singkronan antara UU No. 9 tahun 1998 dan Perkap no. 9 tahun 2008. “Kita melihat Perkap itu bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998. Jadi Perkap itu yang tidak ada dalam struktur peraturan perundang-undangan melampaui undang-undang. Itu menurut kami bermasalah karena di undang-undang tidak ada. Sedangkan batasan kebebasan berekspresi harus dimuat di undang-undang bukan Perkap. Di UU Nomor 9 Tahun 1998 ngga ada pembatasan bahkan disana boleh melakukan aksi pada malam hari dalam penjelasannya itu ada. koordinator aksi melakukan koordinasi dulu sebelumnya dengan Kepolisian”

Tentu hal ini menjadi pr tersendiri bagi instansi yang akan berulang tahun ke 71 pada 1 Juli mendatang .Jangan sampai hal-hal berkenaan dengan keadilan warga dalam menyampaikan aspirasinya dipandang sebagai kegiatan transaksi di pasar. Di mana seorang penawar yang memiliki penawaran tinggi akan mendapatan barang yang diinginkannya. Atau pun seperti selengtingan-selentingan khas pedangan di pasar “Ada uang, ada kualitas bung” dimana semakin tinggi penawaran maka makin bagus lah barang yang didapatkan dan hak menyampaikan pendapat adalah barang tersebut.

Karena sejatinya dimata hukum semua rakyat itu sama (Equality before the law). Akan tetapi nyatanya buruh, mahasiswa, dan ulama mendapat perlakuan represif, sedangkan massa pro Ahok dalam ANL mendapatkan cara persuasif. Tentu hal ini seperti yang saya jelaskan di atas, terjadinya proses transaksional aspirasi antara sipil dengan aparat.

Tentu hal transaksi aspirasi ini menjadi standar ganda bagi pelaksanaan hukum di negara ini. Seakan polisi sebagai lembaga penegak hukum bersikap terlalu fleksibel hingga lupa dengan dasar-dasar mereka dalam menegakkan hukum di Republik ini. Untuk golongan tertentu mereka gunakan Perkap sebagai dasar atas sikap represif yang terkesan semena-mena dan pada golongan lainnya mereka berpegang pada UU. Karena sejatinya Polisi harus bertindak netral dalam menegakkan hukum di Republik Indonesia, bukan lah pedagang hukum yang menjajakan hukum dan menjualnya pada penawaran terbaik.

Categorized in: