Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) yang merupakan salah satu upaya gerakan rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu dominasi imperialisme yang menjadi akar persoalan bagi rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kesejahtraannya.
Penindasan merupakan salah satu bagian dari sejarah yang tentunya tidak lahir dengan sendirinya melainkan atas dasar perjuangan rakyat Indonesia. Sebut saja, penindasan oleh pemerintah kolonialisme Belanda yang menghisap sumber-sumber daya alam Indonesia selama tiga setengah abad lamanya.
Pendidikan yang semestinya bisa diakses oleh rakyat secara luas hanya menjadi sebuah impian belaka, pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda membatasi rakyat pribumi mengakses pendidikan. Pendidikan hanya bisa dikenyam oleh bangsawan dan anak tuan tanah lokal yang mengabdi atas kepentingan pemerintah Belanda, karena kaum bangsawan dan tuan tanah bersekongkol untuk menghisap rakyat kecil.
Gerakan Mahasiswa di Indonesia selama ini dalam membela dan berjuang bersama rakyat tertindas tampaknya selalu mendapat hambatan. Refleksi dan munculnya kritik semakin menyadarkan mereka bahwa untuk melakukan perubahan secara ekonomi politik perlu dibangun kerja sama yang lebih luas dengan kekuatan elemen rakyat lainnya serta membuka jaringan yang sifatnya internasional.
Tingginya tingkat peserta didik yang belum mendapatkan kesempatan dan fasilitas yang layak di sekolah-sekolah dan kampus. Mereka bukan saja tidak memiliki tepat bernaung, tetapi juga kekurangan tenaga pendidik, buku-buku ajar dan fasilitas standar lainnya.
Untuk itu, momentum Hari Pendidikan Nasional diharapkan menjadi peringatan yang berarti bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat atas kepentingan mendapatkan pendidikan yang layak bagi kebutuhan jaman akan terus dikobarkan setiap tahunnya.
GmnI mengilustrasikan pendidikan Indonesia saat ini dikomersialisasikan dan mengorientasikan dunia pendidikan sebagai ekonomi sektor jasa hingga berdampak rakyat miskin sukar mendapatkan hak untuk mengakses pendidikan. Pemerintah dalam pernyataan DPK GmnI UNJ saat ini absen dalam menyeriusi pendidikan. Ini dibuktikan dengan telah telaksananya sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di tingkat Universitas. UKT dianggap semakin menyingkirkan rakyat miskin dari Perguruan Tinggi.
Sehingga, DPK GmnI menyatakan sikap untuk saling mengedepankan edukasi imprealisme sebagai salah satu tolak ukur kita menghadapi problema carut marut pendidikan di Indonesia.
Merdeka!
Marhaen Menang!
GmnI Jaya!
Oleh: Andi Aditya Hardinto, Ketua DPK GMNI UNJ