Pada pilkada DKI putaran pertama 15 Februari lalu dilaksanakan dengan data DPT (Daftar Pemilih Tetap) resmi dari KPU DKI (2017) sebanyak 7.108.589 orang, dan dengan antisipasi Daftar Pemilih Tambahan (DPTB) karena belum mencetak e-KTP dan belum terdaftar dalam DPT sebanyak 57.763 orang . Mereka yang belum mencetak e-KTP dan belum terdaftar dalam DPT diharuskan membawa Surat Keterangan (Suket) dari Dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil). Mereka boleh memilih pada jam 12.00 s.d.13.00 di RT/RW sesuai KTP.
Setelah putaran pertama 15 Februari usai, saya dikejutkan dengan data jumlah DPTb pada putaran pertama Pilgub DKI Jakarta tersebut. Datanya cukup mencengangkan hingga mencapai 237.003 pemilih. Jumlah itu terdiri dari 109.238 pemilih laki-laki dan 127.765 pemilih perempuan.
Tentu itu mengejutkan karena data sebelum pemilihan disebutkan oleh KPUD bahwa jumlah DPTb adalah 57.763 tetapi setelah pelaksanaan pemilihan ditemukan data mencapai 237.003 pemilih, naik sangat signifikan menembus angka kenaikan 300% lebih.
Parahnya sampai saat ini data DPTb tersebut belum diketahui berapa pemilih yang menggunakan Suket (surat keterangan dukcapil), dan berapa yang membawa Kartu Keluarga (KK) atau yang hanya membawa KTP? Faktanya model suket yang digunakan saat putaran pertama ternyata ada tujuh varian model suket (temuan bawaslu,2017).
Fakta DPTb yang naik 300% lebih patut menjadi catatan kritis karena ini terjadi di DKI Jakarta bukan di Papua. DKI Jakarta adalah ibu kota negara yang memiliki sumber daya birokrasi yang jauh lebih baik dibanding derah lain. Juga didukung akses fasilitas teknologi informasi yang jauh lebih mudah dibanding daerah lain. Jangkauan pendataan oleh struktur terendah RT (Rukun Tetangga) terhadap warganya juga jauh lebih mudah dibanding daerah lain.Dengan tiga hal itu seharusnya tidak terjadi DPTb yang mencapai 237.003 tersebut.
Jika setiap kali pemilu problem data tersebut masih kerap terjadi di DKI Jakarta, maka patut dicurigai bahwa tidak ada keseriusan pemerintah atau mungkin patut diduga ada unsur kesengajaan dari pihak pengolah data pemilih. Sebab angka DPTb yang jumlahnya ratusan ribu tentu cukup signifikan untuk menentukan kemenangan pada kontestasi politik di DKI Jakarta. Pada titik ini ada ruang kemungkinan data DPTb menjadi celah yang dipakai untuk melakukan kecurangan pemilu. Ini problem paling berbahaya yang merusak kualitas pilkada DKI 2017. Fakta ini seharusnya menjadi perhatian sangat serius KPU DKI Jakarta untuk melakukan verifikasi dan validasi berlapis terkait data pemilih untuk putaran dua pilkada DKI 19 April mendatang.
Ubedilah Badrun
Analis Sosial Politik UNJ, Direktur Puspol Indonesia.