Perang Salib berakhir tragis bagi pasukan Kristen. Konstantinopel berhasil direbut oleh Sultan Muhammad Al Fatih pada tahun 1453. Dengan jatuhnya kota tersebut akhirnya dua kerajaan besar yaitu Portugis dan Spanyol melakukan pelayaran untuk mencari ‘dunia baru’ lewat Perjanjian Tordesillas yang dipelopori oleh Paus Alexander VI dengan membawa slogan: Gold, Glory, Gospel. Pelayaran mencari rempah-rempah pun dimulai Belanda menancapkan kuku penjajahannya di Indonesia, semenjak kedatangan VOC. Sistem ‘tanam paksa’ pun digencarkan hingga akhirnya kehidupan rakyat pribumi begitu menyedihkan. Melihat kondisi rakyat jajahan semakin menderita, munculah golongan etnis di Belanda. Van Deventer yang mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan pribumi yang dikenal politik etnis.
Politik Etnis ini dilakukan sebagai ‘balas budi’ kepada rakyat Indonesia yang sudah mereka peras segalanya, akibat sistem tanam paksa hingga VOC yang awalnya mendapatkan keuntungan besar hingga akhirnya gulung tikar. Jabaran Politik Etis itu diberlakukan oleh Ratu Wilhemina tahun 1901. Kemudian oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi dan emigrasi. Perbaikan sosial yang tampak mulai ditanggapi antara lain adalah pendidikan. Tahun 1903 didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun. Kemudian Vervolg School (sekolah lanjutan) dengan masa belajar 2 tahun. Kemudian dilanjutkan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO) setingkat SMP dan program Algemeene Middlebare School (AMS) setingkat SMA. Meskipun terlihat baik namun terdapat kesan kuat bawa kegiatan pendidikan bagi pribumi hanya semata kelancaran ekonomi dan politik Belanda.
Sepenggal Kisah Kartini
Kartini lahir tanggal 21 April 1879. Ia terlahirkan dari keluarga ningrat Jawa, cucu Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak yang terkenal suka akan kemajuan. Sedangkan Ayahnya R.M.A.A Sosroningrat dan Ibunya bernama M.A Ngasirah, putri seorang guru agama Islam di Telukur, Jepara. Karena ibunya bukanlah seorang bangsawan, maka Ayahnya menikah lagi dengan keturunan langsung Raja Madura yaitu R.A Woerjan. Setelah itu, barulah ayahnya diangkat menjadi bupati di Jepara atas aturan kolonial yang diharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan Belanda. Kartini anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri dan kartini anak perempuan tertua.
Usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Stella Zeehandelaar yang biasa disapa Stella di Amsterdam yang juga anggota Social Democratische Arbeiderspartij (SDAP) dan juga sahabat dari gembong sosialis Ir. H van Kol wakil dari SDAP di Tweede Kamer (parlemen Belanda).
Kartini mengenal Stella melalui koran terkait berita pergerakan wanita di Eropa. Ia kemudian menulis memasang sebuah iklan di majalah Belanda De Hollandsche Leile, di mana ia ingin berkenalan dengan ‘teman wanita pena’. Iklan inilah yang kemudian direspon oleh Stella.
Maka dalam salah satu suratnya kepada Nyonya van Kol, Stella menulis:
“Saya menjadi sangat cinta kepada anak cerdas dari bangsa kulit cokelat ini karena hatinya yang besar dan penuh cinta serta penuh cita-cita yang mulia. Kartini beragama Islam saya Yahudi, tetapi kami mempunyai pikiran yang sama mengenai Tuhan Yang Maha Esa”.
Akhirnya oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Permikiran Kartini dan Isu Feminisme
Menurut Kartini, setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapat perlakuan sama. Kartini paham benar bahwa saat itu, terutama di Jawa, keningratan sesorang diukur dengan darah. Semakin biru darah seseorang maka akan semakin ningrat kedudukannya. Seperti dituliskannya kepada sahabat penanya,
“Pergilah. Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi” [Surat Kartini kepadaNy. Van Kol, 21 Juli 1902]
Kartini mengakui bahwa kaum perempuan telah tertindas dibawah hukum dan budaya yang dibentuk dengan asas patriarki Kartini mengungkap. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. yang semuanya berisi ketidakadilan bagi perempuan. Dan itulah cita-cita Kartini pada awalnya untuk merubah tatanan yang ada.
Jadi wajar mengapa pemikiran Kartini begitu maju namun terkesan ‘liberal’ maupun ‘feminis’ karena ia berada dilingkaran orang-orang yang memiliki paham seperti itu. Karena masyarakat merupakan pola yang terorganisir melalui interaksi antar individu. Karena itu inti dari masyarakat adalah “self” (jadi diri) kemampuan untuk merefleksikan harapan lingkungan terhadap peran seseorang dalam interaksi. Ia juga pernah membaca buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta Karya Multatuli yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudia karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karna Augusta de Witt roman-roman feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Qaffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya pun berbahasa Belanda.
Pada mulanya Kartini sangat kecewa dengan ajaran Islam dan adat istiadat jawa. Keduanya dianggap sebagai penghambat kemajuan.
“Sesungguhnya adat sopan santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adiikku harus merangkak, bila hendak berlalu dihadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun di tanah dengan menundukkan kepala sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh ber-kamu dan ber-engkau kepadaku. Mereka hanya menegur aku dengan bahasa kromo inggil. Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah…” (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899).
Sementara terhadap ajaran Islam, agama yang dipegang dengan teguh, Kartini pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dengan guru ngajinya sewaktu ia itu karena Kartini sering mengajukan pertanyaan tapi tidak bisa dijawab oleh guru ngajinya. Hal ini yang kemudian membuat gurunya marah terhadap Kartini karena Kartini menganggap gurunya sendiri tidak menyukai pelajaran itu. Kemudian ia sampaikan kepada Stella:
“Mengenai agamaku Islam, Stella aku aharus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikan dengan umat lain. Lagi pula sebenarnya agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkannya ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya.” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1890)
Namun, saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Tak hanya itu saja, akhirnya Kartini bertemu dengan K.H Muhammad Sholeh bin Umar seorang ulama besar dari Darat, Semarang Lewat Kyai ini Kartini terbuka pikirannya dan meminta diajarkan agama dengan mempelajari Al Qur’an dengan cara yang dapat ia mngerti. Kyai Sholeh pun memberikan Al Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pada hari pernikahnnya (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur’an) jilid 1 yang terdiri dari 13 Juz mulai dari surat Al fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah saat itu Kartini mempelajari Islam dalam arti sesungguhnya. Namun tidak berlangsung lama, Kyai Sholeh meninggal dunia sebelum ia menyelesaikan terjemahan Al Qur’an tersebut.
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka Kristenisasi? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri memeluk agama lain merupakan dosa yang sebesar-besarnya” (ditujukan kepada Abendanon, 31 Januari 1903).
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dialah yang dapat menyembuhkannya” (Ditujukan kepada Abendanon, 1 Agustus 1903).
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah (Abdullah).” (ditujukan kepada Abendanon, 1 Agustus 1903).
Pada saat Kartini mempelajari Al Qur’an terjemahan bahasa Jawa, ia menemukan dalam surat Al Baqarah:257, Firman Allah SWT yang artinya:
“Allah pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpin-pemimpin mereka ialah Thagut yang mengeluarkan merekad adari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalmnya”.
Makna bahwa Allah lah yang membimbing orang-orang yang beriman dari kegelapan kepada cahaya. Kartini sangat terkesan dengan ayat ini, karena merasakan secara langsung proses perubahan dirinya sendiri dari pemikiran jahilliyah kepada pemikiran hidayah.
Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini banyak mengulang kata-kata “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang ditulis dalam bahasa Belanda dengan Door Duisternis tot Licht. Kemudian makna ini bergeser tatkala Armijn Pane menerjemahkan dengan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kalimat ini sedikit demi sedikit telah menghilangkan makna yang dalam dan tidak memiliki arti ruhiyyah. Jika Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam maka tidak mustahi jika ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan ajaran Islam.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Kartini tetap berada dalam naungan hukum dan budaya adat Jawa yang dulu ditentangnya. Tetapi perubahan pemikiran itu juga tetap tercermin untuk melakukan gerakan feminsime kepada perempuan-perempuan Jawa. Terlihat dia tetap membuka sekolah bagi perempuan bumiputra dan juga mengembangkan ukiran Jepara.
Perubahan pemikiran Kartini berubah dari liberal menjadi corak ekofeminisme, hal ini terlihat dari beberapa tindakan kartini yang tetap dalam kungkungan adat jawa dan juga dia tetap melakukan aktivitasnya menjadi seorang istri dan juga perempuan dan bahkan dia tetap menjadi rela dipoligami yang dulu saat ditantangnya.
Hakikat Perjuangan Kartini
Kartini tidak pernah mengajarkan emansipasi perempuan yang didefinisikan sebagai perempuan harus keluar berkarier menjadi pesaing para pria di berbagai lapangan kehidupan, untuk kemudian membiarkan anak dan rumah tangganya terbengkalai, melainkan ia hanya memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]
Memang banyak anggapan yang menghinakan perempun. Ada yang menganggap perempuan itu manusia kelas dua, sehingga tidak diberi kesempatan menganyam pendidikan dan pengajaran. Wajar jika Kartini mengangkat hal itu untuk diperhatikan. Akan tetapi, bukan ‘persamaan dalam segala hal’ antara lelaki dan perempuan–emansipasi, kata orang-yang dituntut Kartini.
Mengapa Wanita Harus Bergerak?
Karena suatu bangsa tidak akan maju apabila para wanitanya tidak memami pendidikan dengan baik. Hal ini berarti perlu kita pahami bersama bahwa R.A Kartini menekankan pentingnya pendidikan bagi seorang perempuan karena perempuan adalah tonggak pertama pendidikan bagi anak-anaknya.
Wanita yang sukses mengelola tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga hakikatnya telah menciptakan sebuah pondasi bagi bangunan masyarakat. Keluarga yang harmonis dan kokoh serta lahirnya generasi yang bermutu adalah syarat utama kekokohan bangunan sebuah bangsa. Dan semua itu terwujud melalui peran yang dilakukan secara mumpuni oleh wanita.
Di belakang seorang pemimpin handal pastilah berdiri seorang wanita yang telah menemaninya sejak dari dalam kandungan hingga ia memimpin urusan masyarakat. Wanita itu tentu telah memberikan corak kepada sang pemimpin sehingga kertas putih yang tadinya bersih kini penuh dengan coretan indah penuh makna dan hikmah atas bimbingan sang ibu.
Harus dipahami bahwa ungkapan tiang negara tidak bisa dimaknai sebagai bentuk tuntutan agar wanita berkiprah dalam urusan politik praktis (misaInya, menjadi penguasa). Peran strategis wanita juga tidak diukur dari seberapa besar kontribusinya secara ekonomi bagi bangsa. Sungguh peran-peran tersebut bisa dan telah dilakukan oleh kaum laki-laki. Adapun perkara melahirkan generasi dan mengokohkan bangunan keluarga, perannya lebih spesifik bagi wanita. Oleh karena itu, wanita menempati posisi sebagai penentu lahirnya generasi berkualitas. Hal ini didukung pula oleh fakta bahwa ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak-anak. Sejak awal kehadirannya (dalam rahim ibu hingga besar), ibulah yang paling memahami kondisi anak. Ibu pun memiliki ikatan batin yang paling kuat terhadap anak. Melihat hubungan tersebut, maka fungsi ibu sangat sulit digantikan pihak lain. Sedemikian eratnya hubungan ibu dengan anak, maka apabila ibu mampu mendidiknya dengan benar, maka ibu telah mengantarkan menuju terwujudnya generasi dan pemimpin berkualitas.
Pendidikan Setinggi-tingginya bagi Wanita
Fitrah manusia yang senantiasa membutuhkan nasehat dan perhatian. Kenapa demikian? Karena manusia adalah makhuk yang diciptakan Tuhan. Dengan demikian, manusia termasuk di dalamnya wanita butuh untuk selalu diingatkan dan diarahkan. Karena tabiat manusia yang membutuhkan hidup berkelompok (sosial).
Tak itu saja pendidikan dalam beberapa hal melatih bagaimana wanita dapat hidup berkelompok dengan berbagai tanggung jawabnya. Karena manusia memiliki tabiat lemah dan bodoh. Dengan kesadaran ini, maka wanita kan terpacu untuk senantiasa menambah ilmu dan wawasan sehingga akan dapat mengarungi kehidupannya dengan ilmu dan pemahaman
Peran Wanita di Masa Depan
1. Wanita akan menjadi seorang Ibu dan Mendidik Anak
Ketika anak mulai memasuki dunia sekolah, tugas ibu tak lantas menjadi tergantikan oleh sekolah. Bahkan sang ibu dituntut untuk dapat mengimbangi apa yang diajarkan di sekolah. Peran yang demikian strategis ini, menuntut wanita untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, wanita harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya. Karena, untuk mencetak generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu berarti, seorang wanitia tidak boleh berhenti belajar
2. Pendidik Bagi Masyarakat
Maksudnya adalah seorang wanita juga memiliki peran dan tanggungjawab dalam kehidupan masyarakatnya, sehingga dengan itu dirinya memiliki kontribusi dalam melakukan perbaikan dan pembanguan di tengah masyarakatnya, terutama dalam rangka mencetak individu yang baik yang kelak menjadi anggota masyarakat yang baik. Dan baik buruknya wanita dapat mempengaruhi kondisi suatu masyarakat.
“Sesungguhnya perbaikan separuh dari jumlah masyarakat yang ada, bahkan sebagian besarnya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari peran wanita,”
Hal ini karena ada dua alasan:
Pertama, jumlah wanita sama banyak dengan jumlah laki-laki, bahkan bisa lebih banyak dari laki-laki sebagaimana pernah disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW. Akan tetapi, perbandingan ini terkadang berubah-ubah setiap waktunya atau berbeda-beda antara tempat yang satu dengan yang lain. Kadangkala di suatu negara wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki, namun di negara lain sebaliknya, laki-lakinya yang lebih banyak.
Kedua, pertumbuhan generasi muda pada awalnya pasti beranjak dari pangkuan seorang ibu (wanita).
Dengan demikian, maka tampak jelas bagaimana pentingnya peran yang harus diemban oleh para wanita dalam memperbaiki masyarakat.
Hendaknya seorang wanita giat di dalam meningkatkan taraf keilmuan kaumnya. Hal itu dapat dilakukan di tengah-tengah masyarakat, baik sekolah, universitas ataupun jenjang yang lebih tinggi lagi. Tak hanya itu saja, mempelajari ajaran agama juga sangat penting. Apalagi dasar negera Indonesia adalah Pancasila, yang pertama bicara akan Ketuhanan. Bicara tentang agama. Serta Wanita juga harus mampu mengembangkan keterampilannya. Karena pendidikan tanpa keterampilan pun akan terasa sia-sia. Ibarat ilmu tanpa amal, dan sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat.
Semoga Mencerdaskan dan Mencerahkan!
Oleh: Ima Nirwana (FIS 2011)
Catatan:
Tulisan ini disampaikan pada Kajian Rutin Forum Perempuan Red Soldier Tim Aksi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Kamis, 21 April 2016.