Isu proyek reklamasi teluk Jakarta kembali mencuat setelah Menteri Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri Koordinator Kemaritiman pada awal September 2016 menyatakan bahwa proyek tersebut akan segera dilanjutkan. Keputusan tersebut didapat setelah adanya koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Perusahaan Listrik Negara (PLN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Kelautan dan Perikanan), Kementerian Perhubungan, Pemprov DKI Jakarta, serta Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Sikap tersebut bertolak belakang dengan sikap Rizal Ramli yang menjabat sebelum Luhut. Luhut berdalih bahwa tidak ada alasan untuk menghentikan proyek reklamasi. Sebagai konsekuensinya, pemerintah berencana membangun kompleks rumah susun bagi para nelayan yang mengalami dampak proyek tersebut.

Proyek reklamasi terbilang penuh liku sejak disahkan Presiden Suharto melalui Keppres No. 52 Tahun 1995. Proyek pembuatan 17 pulau di kawasan teluk Jakarta yang diberi nama Pulau A hingga pulau Q ini dirancang untuk dihuni sekitar 716.700 penduduk. Luas keseluruhan dari 17 pulau mencapai 5153 ha yang terbagi menjadi tiga sub-kawasan yaitu sub-kawasan barat, tengah dan timur. Pulau buatan tersebut nantinya masuk dalam wilayah administrasi Jakarta Utara yang diperuntukan sebagai pusat bisnis dan jasa seperti perhotelan, perkantoran, area wisata dan pusat perdagangan internasional. Hingga kini, dari 17 pulau yang direncanakan, belum sampai separuhnya yang berhasil dibuat.

Baca juga: Pernyataan Sikap BEM SI Tolak Reklamasi

Isu reklamasi sempat menjadi sorotan publik sejak hebohnya pemberitaan media tentang tertangkapnya M. Sanusi yang merupakan Anggota DPRD DKI Jakarta oleh KPK yang menyeret perusahaan pengembang. Skandal tersebut semakin mengguncang Jakarta ditengah ramainya dunia perpolitikan menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017.

Beberapa kalangan mulai melirik Mega Proyek Giant Sea Wall karena dinilai menyebabkan dampak buruk terhadap lingkungan. Berbagai instansi termasuk kementerian mencoba menghentikan proyek melalui jalur hukum. Pada tanggal 19 Februari 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sempat mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Surat Keputusan Menteri tersebut mewajibkan Gubernur DKI Jakarta untuk tidak memberikan izin reklamasi.
Namun Keputusan tersebut kandas dan harus dibatalkan dengan dimenangkannya pihak pengembang oleh Mahkamah Agung.

Pada Mei 2016 Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta mengeluarkan keputusan agar Gubernur DKI Jakarta menunda proyek reklamasi. Namun, pemerintah tetap melanjutkan proyek tersebut dan berdalih bahwa keputusan tersebut bersifat belum final.

Penolakan terhadap proyek reklamasi terus bermunculan. Komunitas Nelayan bersama YLBHI, serta BEM Seluruh Indonesia dalam jumpa pers di LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta, Jumat (16/9/2016) menyampaikan somasi kepada Luhut Binsar Panjaitan dalam waktu 3×24 jam. Luhut diminta menjalankan putusan PTUN Jakarta dan menghentikan aktivitas reklamasi hingga keluar putusan yang bersifat final.

Reklamasi dinilai berdampak negatif terhadap lingkungan terutama dapat menyebabkan banjir. Selain itu, kajian tentang banjir dalam studi AMDAL yang dilakukan perusahaan pengembang dinilai belum memperhitungkan pengaruh kenaikan muka laut rata-rata dan pengaruh pasang surut, serta belum memperhitungkan adanya back water (aliran balik sungai) akibat adanya hambatan berupa sedimentasi dan penimbunan tanah reklamasi.

Bencana banjir tahunan Kota Jakarta selama ini yang telah menimbulkan banyak korban dan permasalahan lingkungan hidup dan sosial ekonomi yang sangat besar dinilai tidak akan teratasi dengan adanya reklamasi. Reklamasi justru dinilai menghambat aliran air dari 13 sungai yang ada di Jakarta. Hal tersebut dinilai akan membuat Jakarta semakin rawan banjir. Selain itu, reklmasi juga dapat memperluas potensi pencemaran ke arah perairan Pulau Seribu akibat aktivitas di darat.

Terlepas dari argumen penolakan, pihak pengembang dan Gubernur DKI Jakarta justru berpendapat bahwa reklamasi adalah sebuah solusi. Reklamasi dinilai justru membawa dampak positif, baik terhadap lingkungan, sosial, ekonomi maupun terhadap peningkatan kehidupan masyarakat sekitarnya.

Reklamasi dinilai dapat mencegah banjir dengan melakukan pembersihan dan normalisasi 13 muara sungai dan membantu pembuatan banjir kanal dan sarana pencegahan lainnya. Selain itu reklamasi juga dapat lebih menata lingkungan hidup dan sosial dengan mengatur ulang lingkungan yang ada menjadi lebih teratur, bersih dan higienis.

Adanya reklamasi memungkinkan terbentuknya tatanan kawasan dan lingkungan konservasi alam menjadi lebih teratur. Reklamasi memungkinkan mempermudah perhitungan pengaruh kenaikan muka laut rata-rata (mean sea level rise) dan pengaruh pasang surut dan perhitungan adanya aliran balik sungai (back water). Keuntungan lainnya adalah meningkatkan dan merehabilitasi pemukiman-pemukiman kumuh sekitar pantai guna menjaga lingkungan yang bersih dan sehat.

Pada prinsipnya, permasalahan reklamasi merupakan permasalah serius yang harus diselesaikan pemerintah mengingat hal tersebut berkaitan dengan hajat hidup para ribuan nelayan. Sejatinya reklamasi dapat menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan perkonomian seperti di Dubai, Singapura dan Jepang. Namun, dampak buruk lingkungan dan sosial justru akan terjadi jika reklamasi dilaksanakan tidak dengan kaidah peraturan yang ada. Adanya kasus suap anggota DPRD dalam penyusunan Raperda yang mengatur reklamasi menandakan adanya kongkalikong oknum penguasa. Hal tersebut tentunya sangat berbahaya jika prinsip pembangunan bukan fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah harus mampu menjadi pelindung bagi rakyatnya termasuk menjamin keberlangsungan hidup para nelayan yang sudah terkena dampak reklamasi. Apapun keputusan final terkait status hukum, pemerintah harus tetap mengedepankan aspek keadilan bagi masyarakat. Jangan sampai reklamasi yang diniatkan sebagai solusi pembangunan justru menjadi polusi pembangunan.

Categorized in: