“Kalau ke Pantai Selatan jangan pake baju hijau atau biru, karena itu warna kesukaannya Nyi Roro Kidul kita bisa ditarik ke laut.”
“Keluar saat Magrib bisa diculik wewe gombel.”
“Menyapu harus bersih, kalau tidak nanti dapat suami yang brewokan.”
“Anak gadis yang makan sayap ayam, atau duduk di depan pintu, nanti sulit mendapat jodoh.”
Pernahkah mendengar anggapan-anggapan itu dari orang tua, masyarakat, atau bahkan sekolah?
Beberapa yang dicontohkan sebelumnya, hanyalah sebagian kecil anggapan-anggapan yang telah populer bagi masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat perkotaan yang hidup di tengah arus budaya populer, mereka minim tersosialisasikan pandangan tradisional tersebut. Sementara masyarakat pedesaan atau mereka yang hidup di perkotaan namun tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional, anggapan-anggapan yang telah dicontohkan adalah pesan moral yang harus dilestarikan. Tidak setuju atau mempertanyakan, berarti menyimpang.
Pada dasarnya mitos, anggapan-anggapan yang beredar, meskipun bertalian erat dengan kekuatan atau makhluk lain, akan dianggap sebagai suatu kebenaran karena telah diwariskan secara turun-termurun oleh masyarakat. Mitos seperti ini memang niscaya keberadaannya dalam masyarakat, karena mitos sebagai sistem pengetahuan adalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat.
Ada sisi rasional anggapan tidak boleh menggunakan baju hijau atau biru saat ke Pantai Selatan karena tim Search And Rescue (SAR) akan kesulitan mencari korban apabila terseret ombak dengan sebab warna bajunya mirip dengan air laut. Anak tak boleh keluar saat Magrib karena waktunya istirahat dari aktivitas, beribadah, dan berkumpul bersama keluarga untuk menjaga keharmonisan. Menyapu dengan bersih agar tidak ada debu dan kotoran yang akan mengundang kuman penyakit. Sayap ayam mengandung banyak lemak yang memicu tumbuhnya jerawat, serta duduk di depan pintu akan mengganggu keluar masuknya orang di ruangan.
Pemahaman yang lebih rasional itulah yang tidak disosialisasikan, melainkan masyarakat mengaitkan dengan kekuatan-kekuatan gaib. Jika penjelasan yang irasional itu lebih dominan, maka pesan moral yang semula bertujuan baik akhirnya terkonstruksi menjadi mitos. Sehingga kita sebagai bangsa, terus hidup dalam bayangan mistik, kedangkalan berpikir, yang juga berarti kedangkalan hidup, terus menerus.
Mitos merupakan produk kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun melalui proses sosialisasi atau pembelajaran. Beberapa agen yang berfungsi mewarisi mitos adalah orangtua, masyarakat, dan sekolah.
Mengacu pada konteks tulisan ini, sekolah di Indonesia sebagai lembaga pendidikan formal memiliki tujuan pendidikan yang tertera dalam UU NO 20 th 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan sudah jelas dan visioner. Tak ada jalan yang mulus, perjalanan menuju tujuan pendidikan nasional akan penuh tantangan individual dan komunal (kebudayaan masyarakat).
Tantangan individual, mengubah pola belajar konvensional, saat siswa datang ke kelas bagai gelas kosong yang diisi oleh guru dengan ceramah, didikte, diberi instruksi, tanpa mengembangkan segala potensi yang ada di dalam siswa itu sendiri. Secara tidak langsung mereduksi peran sekolah menjadikan manusia mesin mekanis. Tantangan komunal, khususnya bila dihadapkan dengan segala kebudayaan masyarakat meliputi kesenian, bahasa, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, dan khususnya sistem pengetahuan tradisional dengan berbagai macam mitos yang menjadi cara pandang dominan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya berkembang secara linier kadangkala berbenturan dengan mitos yang beredar di masyarakat. Keberadaan mitos secara epistemologi menghambat perkembangan sikap dan cara berpikir sebuah masyarakat. Sebagaimana yang telah dibongkar oleh S. H. Alatas (1988) tentang mitos pribumi itu malas, yang dicitrakan kepada orang Jawa, Melayu, dan Filipina, merupakan kebohongan besar yang sengaja dikonstruksi oleh para kolonialis kapitalis untuk menjajah Indonesia. Sistem pengetahuan tradisional berwujud mitos yang terlanjur ada di dalam masyarakat tidak bisa dihentikan atau dihilangkan, tetapi bisa dilawan. Pengetahuan versus pengetahuan, atau dalam dialektika yang terkenal dari Hegel yaitu Tesis – Antitesis – Sintesis. Mitos sebagai Tesis awal – Filsafat sebagai Antitesis – dan Pelajaran Filsafat sebagai Sintesis.
Filsafat adalah sistematisasi pengalaman bernalar dari kecenderungan rasa ingin tahu yang telah manusia miliki. Pelbagai makna filsafat memiliki penafsiran berbeda yang tersebar di dalam sejarah peradaban manusia, dimulai secara etimologi dari kata philein (mencintai) atau philia (cinta) atau philos (kekasih) dan sophia (kebijaksanaan) yang berarti pecinta kebijaksaanaan, sampai dengan pemahaman tentang segala sesuatu. Penafsiran filsafat dalam konteks Zaman Pra Yunani Kuno, Zaman Yunani Kuno, Zaman Pertengahan, Zaman Pencerahan, Zaman Modern, dan Zaman Kontemporer, semuanya berbeda, namun memiliki tradisi yang sama. Yakni mengajak orang untuk berpikir sistematis, masuk akal, dan mendasar dalam hidupnya serta orang-orang di sekitarnya.
Di Indonesia, filsafat seolah berubah menjadi pemikiran asbtrak yang nyaris tidak ada kaitannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Sejarah melalui periodesasinya telah membuktikan bagaimana filsafat mampu mencerahkan akal manusia di setiap zaman, dan pada konteks ke-Indonesia-an diharapkan pelajaran filsafat mampu sebagai resistensi terhadap mitos-mitos yang selama ini menyelimuti bangsa kita dengan kegelapan.
Pada abad ke 21 telah banyak negara yang memberikan pelajaran filsafat tidak hanya di pendidikan tinggi melainkan sudah sejak di sekolah menengah sebagai pelajaran wajib bagi siswa, diantaranya yaitu; Perancis, Spanyol, Italia, Jerman, Swedia, dan Swiss. Munculnya tokoh-tokoh besar filsafat Descartes, Comte, Derrida, Sartre, Foucault, dan lain sebagainya di Perancis, membuatnya sebagai gudang ilmu filsafat. Sehingga di Perancis, ilmu filsafat mempunyai harga diri sendiri di mata masyarakatnya. Sistem pendidikan ini menjadi tradisi semenjak Victor Cousin (1792-1867), professor filsafat di Universitas Sorbonne menjabat sebagai menteri pendidikan. Pelajaran itu bertujuan menghasilkan “warga negara yang tercerahkan”, yang mampu berpikir kritis.
Di Spanyol, pendidikan menengah terselenggara selama dua tahun dan siswa bebas memilih mata pelajaran khusus spesialisasi (jurusan) meliputi sains, sastra, ilmu sosial, seni, dan teknologi. Ujian kelulusan pendidikan menengahnya bernama Selectividad, terdiri dari tiga ujian tertulis wajib pelajaran Bahasa Spanyol, Filsafat, dan Bahasa Asing. Ketiga mata pelajaran yang diujikan dalam Selectividad adalah mata pelajaran wajib bagi siswa sekolah menengah, termasuk pelajaran filsafat. Begitupun dengan Jerman, Swiss, dan Swedia yang memiliki kemiripan kurikulum.
Beberapa negara maju khususnya di Eropa tersebut telah memberikan setidaknya sebuah fakta menarik bahwa kurikulum mewajibkan pelajaran filsafat di sekolah bukan hal yang sepele, namun memberikan efek kepada siswa berpikir secara sistematis dan masuk akal. Apabila dikomparasi dengan kurikulum pendidikan di Indonesia, filsafat diberikan secara formal (selain jurusan Filsafat) ketika sampai di perguruan tinggi, melalui mata kuliah Pengantar Ilmu Filsafat, Filsafat Ilmu, dan Dasar-dasar Logika. Pelajaran Filsafat di negara maju diberikan ketika sekolah menengah, di Indonesia diberikan ketika perguruan tinggi. Selain itu dalam kurikulum SMA Indonesia sejauh ini masih mempelajari logika dalam pelajaran matematika dan Bahasa Indonesia namun hanya sebatas premis, kesimpulan dan silogisme. sehingga perlu diperdalam melalui pelajaran filsafat.
Sejatinya, pendidikan adalah kegiatan sosialisasi kebudayaan dan transformasi ilmu pengetahuan ke arah progress. Selalu terkungkung oleh dogma dan mitos-mitos yang irasional akan menyebabkan pendidikan (kita) stagnan. Kegunaan pelajaran filsafat melatih akal demi pemikiran yang rasional, langkah progress mendobrak kemapanan sistem kebudayaan tradisional terutama yang kental akan sisi takhayul dan menyelamatkan bangsa dari kegelapan mitos. Sebagaimana para filsuf melawan mitologi Yunani Kuno yang telah berurat-berakar bagian dari agama Yunani Kuno.
Meskipun Socrates mesti dihukum mati karena dinilai merusak pikiran dengan memperkenalkan cara berpikir induktif dan membuat definisi universalnya, namun jejak dan sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan (melawan mitologi Yunani) tetap abadi.
Dari fakta sejarah dan bukti kontemporer, pelajaran filsafat sebagai sintesis dari mitos melawan ilmu pengetahuan yang rasional telah membuat perubahan cara berpikir masyarakat saat ini dan nanti. Dengan memiliki generasi muda yang sudah dipersiapkan untuk berpikir secara logis dan berkembang, maju dalam sistem pengetahuan, basis kebudayaan yang matang, maka dunia akan mengenal Indonesia sebagai negara yang berperadaban.
Oleh: Fatoni Ihsan