Sidang Umum (SU) MTM Universitas Negeri Jakarta 2017 memang telah rampung pada Minggu, 29 Januari 2017 lalu. Dalam forum tersebut menjadi momen BEM UNJ periode 2016-2017 kabinet Bagus-Dicky mempertanggung jawabkan hasil kinerja mereka dalam satu periode kepengurusan. Selain itu, SU MTM 2017 juga menjadi awal dari kepengurusan BEM UNJ periode 2017-2018 kabinet Miqdad-Hafiz. Beragam momen terekam dalam pertemuan singkat 3 hari 2 malam tersebut, dan termasuk berikut redaktur UNJKITA hadirkan salah satu momen dalam SU MTM UNJ 2017 yang terekam lewat tulisan oleh salah satu teman kita, Dwi Juliani dari Fakultas Bahasa dan Seni angkatan 2013 :
Sidang Umum telah selesai. Forum Tertinggi itu menjadi saksi perggantian estafet kepemimpinan Opmawa di kampus kita. Mari kita ucapkan seraya berdoa, Barakallah wa innalillah kepada para pemimpin baru di tingkat universitas kampus ini. Semoga kesabaran –dan juga kerendahan hati– senantiasa mengiringi jejak langkah mereka.
Tahun ini adalah sidang umum tingkat universitas ketiga buat saya. Pepatah pernah berkata, “kamu tidak akan pernah tau sesuatu sampai kamu mencobanya”. Mengetahui apa? Mengetahui sisi lain dibalik sesuatu.
Sebelumnya, biar saya luruskan dulu pemahaman kita terkait sidang umum. Dalam Anggaran Dasar Opmawa UNJ pasal 13, disebutkan bahwa permusyawaratan berguna untuk mengambil keputusan-keputusan bagi penyelenggaraan Opmawa di UNJ. Salah satu bentuk permusyawaratan ini adalah Sidang Umum MTM UNJ, yang kedudukannya paling tinggi di antara permusyawaratan lain. Sidang Umum diadakan untuk membahas segala aturan yang akan dijadikan landasan dalam menjalankan organisasi pemerintahan UNJ.
Kemudian dalam Anggara Rumah Tangga Opmawa UNJ pasal 10 ayat 1 poin b, dijelaskan bahwa lembaga Eksekuif Mahasiswa melaksanakan hasil-hasil forum tertinggi Lembaga Legislatif Mahasiswa pada tiap tingkatan.
Sampai di sini, cukup jelas. Segala keputusan dalam Sidang umum MTM UNJ yang menjadi Forum Tertinggi mahasiswa UNJ, wajib dilaksanakan oleh lembaga eksekutif tingkat pusat, dalam hal ini BEM UNJ. Dengan kata lain, BEM UNJ sebagai pelaksana peraturan yang ditetapkan di sidang umum MTM UNJ, tentunya mengerti apa-apa yang sekiranya perlu diperbaiki dari aturan tersebut dan menyampaikannya di forum tertinggi.
Berarti, Sidang MTM UNJ 2017 wajib dihadiri oleh anggota BEM UNJ 2016 dan perwakilan lembaga lain untuk membahas peraturan-peraturan yang telah dijalankan selama tahun 2016. Lembaga eksekutif bersama lembaga legislatif bermusyawarah untuk memperbaiki peraturan di tahun 2016, untuk diterapkan di kepengurusan Opmawa tahun selanjutnya.
Itu idealnya. Kenyataannya?
Forum tertinggi kali ini, justru lebih tertib diikuti oleh lembaga pemerintahan mahasiswa di tingkat daerah. Publik perlu tau, sidang umum MTM UNJ pada hari Jumat, 27 Januari 2017, hanya dihadiri oleh 8 orang anggota BEM UNJ. Sisanya adalah perwakilan dari lembaga di fakultas dan prodi. Pejabat mahasiswa di tingkat pusat baru mulai berdatangan ketika Sabtu siang. Sedangkan pembahasan peraturan sudah dibahas dari Jumat sore. Oh, agenda bermafaat mereka banyak. Luaskan hati jika sidang umum yang menjadi forum tertinggi adalah agenda kesekian.
Itu pertama.
Kemudian tentang dresscode. Beberapa anggota lembaga dengan santainya datang dan memasuki ruang persidangan menggunakan celana jeans. Yang lebih disesalkan, beberapa orang ini adalah orang yang sudah berkali-kali menghadiri sidang umum. Perlu kah saya jelaskan lagi bahwa sidang umum adalah Forum Tertinggi yang bersifat formal? Walaupun acaranya di luar kota dan menginap di villa, inti acara ini adalah sebuah persidangan. Bukan Family Gathering atau acara yang memfasilitasi liburan akhir para pejabat kecil mahasiswa. Tapi teguran agar mengganti celana jeans tadi dianggap angin lalu.
Lalu tentang kedisiplinan dalam persidangan. Saya sudah menjelaskan bahwa sidang adalah acara formal. Kita sudah dewasa dan harusnya mengerti tentang etika. Idealnya, kita bisa membedakan di mana kita boleh bermain-main, di mana kita perlu sedikit serius. Dan MEMAINKAN LASER kemudian mengarahkannya ke arah pimpinan sidang, adalah tindakan konyol yang jauh dari kata serius. Sayangnya, hal ini dilakukan oleh salah satu anggota BEM UNJ. Kasus laser ini juga pernah terjadi saat Sidang Pleno membahas 3 bulan program kerja BEM UNJ di bulan Juni 2016.
Selain laser, juga tentang ketepatan watu. Saya paham, detik-detik pelepasan amanah yang bertumpu di pundak pejabat kecil kita adalah hal yang melegakan. Tapi tidak perlu dirayakan dengan bercanda yang berlebihan. Waktu skorsing yang singkat malah dimanfaatkan untuk mengobrol, tertawa, bercanda. Saat sidang dimulai kembali, pejabat kecil kita tetap santai tertawa. Pelaksana peraturan kita seperti enggan membahas kepentingan mahasiswanya sendiri. Janji manis kampanye selesai setelah proker terakhir usai.
“Biar sidang umum untuk mereka yang muda”, katanya dengan santai. Duduk dan ngobrol di luar aula sementara perwakilan lainnya mengikuti persidangan dengan tertib. Duh dik, semoga pemikiran yang seperti ini tidak diturunkan lagi oleh abang-abang kalian.
Yang terakhir, tentang makan. Logika tanpa logistik itu anarkis. Untuk menghindarinya, segenap panitia memikirkan berbagai cara agar mereka yang menghadiri sidang bisa makan enak, dan manusiawi. Panitia berusaha untuk menghidangkan makanan sebaiknya-baiknya. Sistem dan sedikit aturan makan dibuat. Tapi dianggap sepele. Angin lalu. “Kita pejabat, tamu undangan”. Panitia yang hanya sepuluh orang itu harus meluaskan hatinya melayani undangan yang lebih dari seratus orang.
Kadang saya tidak mengerti. Mereka yang diundang dalam Forum Tertinggi di tingkat universitas ini adalah mereka yang ahli membuat sebuah acara, tapi justru semaunya saat jadi peserta acara. Dalam acara pelatihan-pelatihan kepemimpinan mereka begitu ingin peraturan kedisiplinan ditaati tapi justru melecehkan aturan acara saat jadi peserta di acara lain –yang lebih formal dan sakral. Mereka yang di akun sosial media terctirakan begitu mementingkan kepentingan mahasiswa, tapi malas memusyawarahkan landasan-landasannya sendiri dalam bergerak.
“Demisioner hari Minggu, datang ke sidang umum Sabtu sore saja”. Sampai di lokasi, bercanda, ngobrol, tidur, padahal sidang sedang berlangsung. Sidang umum tidak diselenggarakan hanya untuk demisioner kepengurusn dan jadi ajang romantisme perpisahan bung. Tapi pertanggungjawaban pelaksana aturan di depan publik.
Untuk apa ikut organisasi pemerintahan kalau malas mengikuti persidangan, malas membahas aturan-aturan. “Peraturan baiknya dimusyawarahkan oleh seluruh peserta sidang, bukan apa-apa meminta pertimbangan badan legislasi.” Tapi di sisi lain menyepelekan forum. Dan ketika aturan yang dijalankan ternyata salah, bisik-bisik jorok tentang badan legislasi beserta jajarannya pun jadi topik hits daun-daun rimbun di kampus.
Semoga segala yang sudah terjadi bisa kembali diperbaiki dan diluruskan. Semoga apa yang terjadi kembali mengingat apa tujuan dan cita-cita besar dari sebuah organisasi –yang tentunya bukan sekedar pencitraan dan orasi. Mengingatkan kita untuk membaca kembali apa yang menjadi dasar opmawa kampus ini. Semoga kita menjadi sebaik-baiknya orang yang pandai bermuhasabah diri. Aamiin.
Dwi Juliani
Fakultas Bahasa dan Seni 2013