“Setiap cita-cita besar, kerjakan dulu dengan langkah-langkah kecil” -Ridwan Kamil.
Asean Community 2015 sudah di depan mata. Hal ini akan memberikan banyak perubahan bagi bangsa dan negara Indonesia. Kita harus menyiapkan diri untuk menghadapi Asean Community agar tidak tergerus perkembangan zaman sehingga dapat terus eksis membangun bangsa dan negara.
Departemen Riset Pengembangan dan Pendidikan BEM FIS UNJ 2015 menilai perlu untuk membuat Kajian Asean Forum sebagai salah satu langkah konkrit untuk menyiapkan diri menghadapi Asean Community.
“Ide ini muncul ketika saya kembali dari Thailand selepas mengikuti Indonesia Youth Culture Exchange di Bangkok dan Chiang Mai awal 2015 lalu. Saya terkesima melihat persiapan mahasiswa Thammasat University yang kampusnya kami kunjungi disana untuk menghadapi AEC. Begitu juga dengan masyarakat di desa yang rumahnya kami tinggali disana” ujar Krissa. “Tidak lama sepulang darisana saya diamanahkan menjadi Wakil Ketua Dept RPP BEM FIS UNJ dan saya mengajukan ide ke teman-teman pengurus untuk membuat kajian ini. Mungkin pengaruhnya tidaklah begitu besar menjangkau seluruh mahasiswa FIS di UNJ tapi saya yakin langkah kecil ini dapat menghasilkan sebuah pengetahuan baru bagi teman-teman yang mengikuti Kajian Asean Forum ini. Mengingat waktu kuliah dan kegiatan organisasi lain yang padat kami mengubah format kajian ini menjadi kajian online sehingga lebih efisien dan fleksibel” jelas Krissa panjang lebar.
Pada kajian pertama Dept RPP BEM FIS UNJ membahas tentang Kesiapan Indonesia Menghadapi AEC dengan narasumber Izhari Mawardi yang merupakan lulusan Master of Public Policy dari Harvard University dan saat ini menjabat sebagai Associate Director di Ernst & Young Indonesia Markets sekaligus Head of Business Development-Asean Resources. Pada kajian kedua membahas Kesiapan Singapura Menghadapi AEC dengan narasumber Firdaus Prabowo yang merupakan lulusan Ph.D, Physics, NTU yang saat ini merupakan Senior Engineer R&D di HydroVision Asia Pte. Ltd. Lalu pada kajian ketiga 27 Desember 2015 tadi malam membahas tentang Kesiapan Malaysia Menghadapi AEC dengan narasumber Dewi Anggrayni yang saat ini sedang menempuh studi Ph.D, Media of Communications di University National of Malaysia yang sekaligus merupakan Koordinator Biro Pers PPI Dunia kawasan Asia Oseania.
Pada Kajian Online Asean Forum tadi malam Dewi Anggrayni selaku narasumber memberikan banyak pengetahuan tentang Malaysia kepada mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial UNJ yang terdiri dari berbagai prodi, yaitu: Public Relations, Pendidikan IPS, Sejarah, Geografi, Pendidikan Sosiologi, Sosiologi Pembangunan, Pariwisata, Komunikasi Penyiaran Islam dan Pendidikan Agama Islam. Membuka diskusi Dewi memberikan materi berupa artikel-artikel tentang keadaan Malaysia terkini menghadapi Asean Community yang dilengkapi dengan pengalaman Dewi sebagai mahasiswi di negeri jiran tersebut. Melalui artikel yang diberikan oleh Dewi disebutkan beberapa Plan of Action yang dimiliki oleh ASEAN dengan berbagai negara seperti Tiongkok, Korea, Jepang, Amerika, India dll. Selain itu, khususnya Malaysia memiliki Agreement & Declarations dalam tiga poin penting, yaitu: Trafficking, Climate Change dan Empowering Older Person.
“Sepanjang 2014 pemerintah Malaysia dibawah Kementrian Imigrasi semakin memperketat masuknya orang asing di Malaysia mengingat kawasan ASEAN sangat luas Malaysia mulai berbenah diri. Salah satunya memastikan human trafficking dihentikan. Selain Thailand yang bebas masuk ke Malaysia, Indonesia juga merupakan sasaran empuk yang di kawal pemerintah Malaysia dan untuk legal mereka harus memiliki ijin tinggal yang nilainya sangat besar pertahun tapi sebanding dengan gaji yang diberikan. Itu salah satu cara Malaysia mempersiapkan diri. Dari sisi human traficking ketat sebenarnya, Malaysia sudah kelihatan menjaga martabat bangsanya” jelas Dewi.
“(Berbicara mengenai climate change) isu ini dekat dengan rencana menyamakan zona waktu, dengan menyamakan zona waktu wacana ini diharapkan akan mempermudah Malaysia dalam penghitungan jam kerja. Presiden Jokowi juga sudah membahas hal ini april lalu. Bahwa ia akan bersedia untuk menyamakan zona waktu Malaysia dan Indonesia. Sebab Malaysia, Singapura, Thailand dan beberapa negara lainnya sudah sama zona waktunya. Presiden Jokowi sudah menyatakan akan mempertimbangkan hal tesebut. Keuntungannya sebenarnya sudah kelihatan. Tapi perbincangan Presiden Jokowi dan PM Najib lebih kepada bisnis agar kawasan ASEAN punya jam kantor yang sama. Karena waktu yang berbeda otomatis putaran bisnis pun jadi lambat. Misal, otomatis kapal yang mengirim mobil ke Indonesia tidak bisa jalan karena transaksi belum dilakukan pencatatan” kata Dewi menjelaskan panjang lebar.
“(Tentang empowering older person) dari dua tahun lalu persiapan ini sudah dilakukan termasuk memperbanyak kuota beasiswa pendidikan tinggi (juga) memberi kesempatan pelajar asing melakukan research as fellow di Malaysia. Peluang ini di buka luas sesuai keperluan pemerintah untuk percepatan pembangunan dengan memperbanyak research di semua bidang (misal) sosial, medical dan publikasinya internasional jurnal” ujar Dewi menambahkan.
Mahasiswa/i semakin tertarik dengan jalannya diskusi. Diantaranya ada yang bertanya (apakah) ada pemberdayaan untuk kelas bawah: para buruh/TKW? Dewi menjawab mereka (Malaysia) tidak memiliki TKW. “Buruh itu dari luar, bukan orang Malaysia. Malaysia tidak ada yang mau jadi buruh. Mereka menggaji orang Indonesia, India, Bangladesh, Nepal untuk buruh. Pemerintah memang memberikan peluang besar bagi masyarakatnya untuk meningkatkan kwalitas pendidikannya. Pegawai yang mau kuliah di beri beasiswa 100 persen sehingga ada peningkatan kwalitas mutu pekerja dari segala bidang, segala sektor” ungkap Dewi menjelaskan.
“Pelatihan untuk masyarakat desa dengan mempersiapkan SDM, mereka mengelola SDA di kampung mereka, sekarang lagi hebohnya home industry. Bahkan mereka ikut-ikutan buat batik yang mesinnya dibuat digital diciptakan dari hasil research. Aku cuma bisa gigit jari kalau udah turun lapangan. Pergi ke kebun sawit, buruh-buruhnya semua Indonesia, tapi hasil sawitnya dikelola masyarakat lokal dan dilatih oleh pemerintah daerahnya, banyak lagi yg lain. Mereka sekarang sedang ramainya mengelola desa tertinggal untuk dibuat homestay usaha masyarakat. Rumah direnovasi ulang, oleh pemerintah diberi dana dan nantinya disewakan kepada pendatang yang akan berwisata desa. Untuk diketahui yang jadi buruh kasarnya rata-rata orang jawa (kupas ubi bikin keripik, kuli bangunan orang madura bangun homestaynya). Masyarakat desa punya penghasilan dengan bisnis yang dibuat” kisah Dewi yang membuat hati kita teriris.
Menutup diskusi tadi malam Dewi tak lupa menyampaikan pesan kepada mahasiswa/i yang mengikuti Kajian Online Asean Forum, yaitu;
- Belajar dari Malaysia yang sudah mempersiapkan masyarakatnya untuk AEC. Jika RI belum bisa menanamkan kepada kita untuk mempersiapkan diri seperti Malaysia setidaknya kita sadar bahwa kita akan growing up lepas dari pemerintah care dengan kita atau tidak jadi, kita harus punya skill yang bisa diandalkan untuk bersaing dengan masyarakat ASEAN lainnya.
- Apapun jenis skill yang kita punya harus kita tekuni dengan baik sehingga kita bisa menjadi SDM yang handal dimanapun kita berada.
- Bahasa. Kita harus menguasai satu bahasa asing dengan baik untuk bisa memperluas jaringan kita. Jika kita menyadari AEC di depan mata artinya kita harus siap untuk bersaing dengan negara di ASEAN. Siapkan diri untuk menjadi orang besar untuk bangsa kita di ASEAN. Tiga cara inilah yang akan mengangkat citra bangsa kita kedepan jika kita bisa mewujudkannya dengan baik dan sungguh-sungguh. Karena walau bagaimana pun merah putih melekat di darah kita.
Demikianlah cerita seputar Kajian Asean Forum FIS UNJ tadi malam. Semoga jadi pelecut semangat bagi kita semua untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Semangat untuk para pencari ilmu dimanapun berada!
Oleh: Kris Saputri (FIS 2012)
krissaputri-blogspot.com
Comments