Tulisan ini merupakan sebuah kekhawatiran saya, jika apa yang terjadi akan terulang kembali. Tepatnya pada tanggal 30 Mei 2016. Saya sebelumnya mau memperkenalkan diri, saya adalah mahasiswa baru yang resah terhadap fasilitas yang tidak memadai di kampus, yang resah melihat kawan saya sesama mahasiswa baru dijerat kasus pencemaran nama baik fakultas serta cabornya(cabang olahraga), yang resah terhadap pembungkaman demokrasi kepada para dosen UNJ, yang akhirnya dengan menulis keresahan kampus, dikriminalisasi dan dituduh sebagai pencorengan nama baik!

Cih, pola yang sama.

Begitu juga emosi yang sama. Biar ku tebak. Panik kah? Takut kah? Atau memang tidak ada acara lain untuk akhirnya membungkam orang-orang yang menulis keresahannya terhadap kebobrokan yang ada di kampus UNJ hari ini? Kampus yang terkenal perjuangan heroiknya pada Orde Baru.

Tepat pada pukul 16.13 WIB. pak Ubedilah Badrun mengirimkan sebuah foto undangan hangat dari Resort Metro Jakarta Timur di grup Aliansi Masyarakat UNJ alias surat panggilan pertama terhadap dampak tulisan pak Ubed yang menggetarkan pihak rektorat.

Dan mohon maaf, jika tulisan ini bernada negatif dan menuai kontra untuk rezim kampus ini. Tetapi, yang jelas ada ketidakadilan di dalam pemangku kebijakan kampus ini, ada pembungkaman sistematis yang dirancang, untuk melemahkan pergerakan melawan kedzholiman ini.

Flashback terhadap sejarah Perang Diponegoro, yang kita tahu sebab khusus dari perang tersebut adalah pemerintah kolonial Belanda pada saat itu membuat provokasi dengan membangun jalan yang menerobos makam leluhur Pangeran Diponegoro. Dan apa respon sang pangeran jawa pada saat itu? Beliau Murka dan menganggapnya ini merupakan sebuah penghinaan besar.

Dan kita pun tidak sadar, jika analogi sejarah tersebut itu ada sangkut pautnya terhadap pergerakan perlawanan dan perjuangan ini. Karena jika Pangeran Diponegoro saja marah karena Makam Leluhurnya di terobos tanpa sepengetahuan beliau, apalagi kita yang seharusnya diberi kebebasan berpendapat seluas-luasnya, yang dilindungi Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 9 tahun 1998 tetapi dibungkam dan di kriminalisasi?

Lantas, apa yang kau perbuat? menunggu hingga makam itu terus diinjak-injak oleh kolonial? mana harga dirimu? mana jatidirimu? (mungkin ini bisikan kecil hati Pangeran Diponegoro pada saat itu). Yang kuharap, kita pun juga memiliki bisikan yang sama.

Akan kah ada aksi di dalam kampus lagi? Akan kah ada yang di kriminalisasi lagi? Atau akan kah ada #SaveRonny yang berikutnya atas nama yang berbeda? Saya masih mahasiswa baru, tidak ada dukungan apapun jika saya di DO. Maka, jika saya yang tidak ada namannya di kampus saja mereka panik untuk sibuk memenjarai saya. Tandanya ada kepanikan besar yang tertanam di dalam sanubari mereka.

“Tetapi ini adalah jawaban kita. Selama banteng-banteng Indonesia masih punya darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih! Maka selama itu, tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!”

(Kutipan Pidato Bung Tomo, 10 November 1945)

Sekali lagi, apakah kalian akan diam meihat situasi kampus kita yang seperti ini? Ku rasa kalian semua masih sangat peduli terhadap kesejahteraan kampus yang berletak di Ibukota ini.

Mari kita gelorakan panggung itu kembali.

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan menganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata. LAWAN!”

-Wiji Thukul

Hidup Mahasiswa
Hidup Masyarakat UNJ

Remy Hastian
Mahasiswa UNJ

Categorized in: