Druuuum…..druuum…..suara motor begitu memekik telinga. Suasana malam Kota Jakarta masih hingar bingar, angin malam seakan terpendar, lalu berpencar karena tersibak sorot lampu motor yang memboncengku usai mengisi seminar Quran di MIPA UNJ.
Dalam perjalan pulang tersebut, sang mahasiswa bertanya sambil menyetir motornya. “Abang kan alumni FIS Jurusan Sejarah ya? Kok kaya lulusan syariah sih? Belajar dimana?”
Pertanyaan yang ia lontarkan seakan memutar roda waktu, membalik lembaran-lembaran tahun yang telah terlewati hingga berhenti pada lembaran tahun 2005, tahun ketika kaki ini tiba pertama kali di Gedung K UNJ Fakultas Ilmu Sosial sebagai mahasiswa baru Jurusan Sejarah.
Dalam proses lapor diri ketika itu, kami mahasiswa baru harus berkeliling melewati beberapa pos sejak di BAAK hingga fakultas. Di depan BAAK telah berkumpul banyak senior dengan stand-nya masing-masing, terlihat stand BEMJ, HMJ, BEMF dan berbagai organ ekstra kampus. Usai melewati stand-stand tersebut tibalah kami di Fakultas, di sana terdapat salah satu pos yang di gawangi oleh Islamic Center Al Ijtimai (Lembaga Dakwah FIS).
Ternyata di stand ini kami di tes bacaan Quran oleh beberapa kakak senior. Saya mengamati beberapa mahasiswa baru yang telah menjalani tes lebih dulu, ada Maba yang mampu membaca Quran dengan Fasih, namun adapula yang gugup hingga sering kali huruf ha tertukar dengan huruf jim ketika dibaca.
Saya termasuk Maba yang sangat gugup ketika tes, sebab meskipun sudah menghafal juz 30 ketika SD dan menambah hafalan di SMP Islam Al Hasanah, namun saat SMA hafalan sudah sangat banyak yang hilang, aktivitas membaca Quran di waktu SMA rasanya bisa dihitung dengan jari, itupun di bulan Ramadhan saja, jangan tanya ya di luar Ramadhan. Masih shalat lima waktu pun sudah cukup, karena di waktu SMA saya termasuk STMJ (Sholat Tetap Maksiat Jalan).
Usai tes baca Quran, saya sempat diskusi dengan beberapa kawan sesama Maba dan ternyata pikiran kami sama. “Untuk apa diadakan tes bacaan Quran bagi Maba?”
Dalam perjalanan waktu, kami baru mengetahui ternyata tes bacaan Quran tersebut dalam rangka memetakan kemampuan bacaan Quran mahasiswa dan akan dikaji follow up-nya, karena ICA menginginkan agar mahasiswa muslim FIS dapat membaca Quran dengan baik dan benar! Waw….
Kepedulian LDF ICA terhadap kemampuan membaca Quran mahasiswa tentunya menjadi nilai plus bagi saya di awal memasuki dunia kampus. Kesan Jakarta sebagai kota metropolis nan individualis seakan hilang sebab ternyata masih banyak anak-anak muda, para mahasiswa UNJ yang begitu peduli pada kemampuan mengaji mahasiswa barunya.
Usai tes ternyata benar-benar ada follow up yang dilakukan, sayapun mulai mengikuti pembelajaran Quran di Mushola. Pada pertemuan pertama saya berkenalan dan ditanya jumlah hafalan oleh Ustadz Jauharul Chitam, Mahasiswa Geografi 2004 yang telah Hafidz Quran 30 Juz sejak SMP. Selain menempuh pendidikan di UNJ ia pun tercatat sebagai mahasiswa LIPIA Jakarta.
Setelah perkenalan singkat, saya pun menyetorkan pertama kali kepadanya dua surat andalan yang saya yakini masih sangat mutqin, yaitu Yaasin dan Arrahman, karena dua surat tersebut masih rutin saya baca tiap malam Jumat di kampung. Usai menyetorkan, Arul memberitahukan saya bahwa jumlah kesalahan dari dua surat itu ada 23 kesalahan!
What? Surat yang paling saya yakini masih sangat kuat melekat ternyata memiliki kesalahan sebanyak itu. Tapi saya meyakini, “You cannot change the wind Direction, but You Can Only Change Your Wing direction.” Artinya, Arah angin takkan mampu saya rubah, namun saya bisa mengubah arah sayap itu.
Sejak pertemuan pertama itu saya mengazzamkan dalam hati untuk memaksimalkan belajar Quran di UNJ selain juga mengikuti proses perkuliahan di jurusan sejarah.
Seminggu dua kali saya menyetorkan hafalan pada Ustadz Arul di Mushola FIS, terkadang kami menyetorkan hafalan di pelataran MNI sambil merasakan terpaan angin sore. Sosok Arul bagi saya pada saat itu adalah sosok yang aneh bin ajaib, sebab memasuki millenium 2000 tatkala handphone canggih biasanya menjadi pelengkap saku baju, ia justru melengkapi sakunya dengan mushaf Quran. Ketika banyak orang mendengarkan musik dari MP3 atau handphone-nya disaat menyetir motor, ia justru me-murojaah hafalannya.
Setelah cukup lama bergabung dalam Halaqoh Quran Ustadz Arul, saya dilibatkan untuk “bantu-bantu” mengembangkan komunitas Quran UNJ bernama Quran Institute. Bagi saya Quran Institute telah sangat mewarnai diri saya pribadi dan tentunya UNJ,sebab belum banyak-saat itu-kampus negeri yang konsen pada Tahsin dan Tahfidz Quran.
Quran Institute UNJ telah menjadi wadah pembangunan jaringan Quran yang luar biasa,sebab dengan wasilah Quran Institute saya sempat belajar Tahsin selama 3 tahun pada Ustadz Ahmad Ridwan, Lc hingga berlanjut pada matan ilmu syar’i lainnya, bersama Quran Institute kami Talaqi dengan ustadz-ustadz besar yang kini wajahnya sering muncul di TV, termasuk Talaqi dengan Allahuyarham Ustadz Ahmad Muzammil, Al Hafidz.
Melalui organisasi ini pula saya mendapatkan akses hingga mendapatkan Beasiswa AMCF (Asian Moslem Charity Foundation) untuk belajar di Ma’had Utsman Bin Affan dan berlanjut belajar Bahasa Arab di Lipia.
Quran Institute, aktivis Dakwah UNJ, dan tentunya para dosen yang telah sangat ikhlas mengajar telah banyak merubah hidup saya yang awalnya sangat nakal dan STMJ, alhamdulillah sempat menjadi juara 1 MHQ UNJ dan mewakili kampus dalam event MTQ Mahasiswa Nasional di Nangroe Aceh Darussalam.
Maka, bagi saya UNJ bukan sekadar kampus, tapi juga pesantren mahasiswa yang mendekatkan mahasiswanya dengan Quran, UNJ bukan sekadar kampus tapi juga ladang amal dan ladang dakwah.
Memasuki usia UNJ yang ke-52 pada tanggal 16 Mei 2016, saya berharap UNJ semakin maju memunculkan sosok guru yang cerdas secara intelektual, menjunjung tinggi moralitas dan kaya akan karya nyata nan bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
Selamat Dies Natalis Almamamaterku!
Oleh: Fahmi Irhamsyah (FIS, Jurusan Sejarah 2005)