Kasus penangkapan teman-teman kita pada Aksi 20 Oktober lalu hendaknya tak diabaikan begitu saja. Sejatinya mereka adalah refleksi, reinkarnasi bahkan kelanjutan dari jiwa para pemuda yang berjuang 89 tahun yang lalu. Mereka adalah harapan-harapan rakyat, tangan-tangan berotot yang bergerak untuk kemerdekaan.
Katakanlah zaman sekarang tak ada lagi Belanda, Jepang atau 350 tahun penderitaan. Tak ada lagi kerja rodi, pembunuhan kejam atau prostitusi liar. Namun apa lantas para pemuda diam saja dengan tangan di atas pangkuannya? Kalau iya, berarti Kita buta. Kalau iya, berarti Kita mati. Apa sebutan yang pantas bagi anak kecil yang putus sekolah? Apa kalimat yang cocok bagi ibu rumah tangga yang bahkan membeli garam saja susah? Apa kalimat yang cocok bagi warga yang tergusur kehidupannya? Satu kata. Yaitu, derita.
Pemuda 1928 adalah mereka yang menyadari keadaan sekitarnya. Tentang penjajah, tentang jerit rakyat di dekatnya. Sama halnya dengan empat saudara kita yang keluar penjara susahnya setengah mampus padahal tak terbukti salah. Mereka pejuang. Mereka ingin merdeka dari kemiskinan. Ingin bebas dari jajahan kemelaratan.
Lantas, kenapa sesama Indonesia saling menjatuhkan? Kenapa tak beriringan membangun kesejahteraan? Kenapa para pejuang itu diperlakukan tidak hormat seperti binatang? Dilempari batu, diusir, dikasari selayaknya bukan orang.
Makna sumpah pemuda salah satunya ialah menyatukan keberagaman untuk sebuah NKRI yang kesatuan. Bukan saling merubuhkan dengan fitnah-fitnah sampai menimbulkan penganiayaan seperti yang disebut di atas tadi.
Lalu bagaimana memperbaiki ini semua?
Soegondo Djojopoespito dari PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) adalah seorang pemuda yang berhasil memimpin rekan-rekannya mengucapkan sumpah 28 Oktober 1928. Jiwa pemimpinnya tinggi. Jiwa pembelanya tinggi. Ia rela beasiswanya dicabut demi masuk ke dunia politik dan memperjuangkan rakyat Indonesia sampai dipilihlah Ia sebangai ketua Kongres Pemuda II yang mencetuskan sumpah pemuda.
Sudah semestinya pemuda itu tidak apatis. Kesadaran akan sekitar dan keinginan memperbaiki adalah jiwa yang harus dibangkitkan dalam jiwa pemuda. Lalu bagaimana menariknya?
Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa bisa menjadi salah satu jalan keluar. Pelatihan ini bukan sekadar pelatihan biasa. Disini Mahasiswa diajari bagaimana mengatur keuangan, kerjasama antar kelompok, serta yang terpenting, Mahasiswa dilatih tentang bagaimana mempertahankan jati diri. Berbagai tantangan dan kasus yang diberikan panitia perlahan-lahan memancing jiwa pemimpin para Mahasiswa yang masih malu-malu untuk muncul ke permukaan.
Mahasiswa dituntut untuk tidak bungkam. Diminta tegas untuk mempertahankan kebenaran dan menyelamatkan sesama rekan perjuangan. Sebuah pelatihan yang bukan sembarangan. Dimana Kita tahu bahwa lapangan asli pastilah lebih kejam.
Oleh karena itu, pentinglah bagi para mahasiswa untuk mengikuti pelatihan ini. Demi membekali diri, menumbuhkan simpati dan yang paling penting, siap berdiri menjadi pemimpin yang bertanggung jawab.
Teman, mari buktikan bahwa sumpah pemuda bukanlah sejarah usang. Mari buktikan bahwa empat kawan itu benar-benar sahabat perjuangan. Mari, jadikan pelatihan kepemimpinan ini bukan sekedar pengisi kewajiban. Kita harapan. Kita punya beban yang harus ditunaikan. Mari, kita laksanakan amanah rakyat dengan penuh kebanggaan!
Oleh: Khairun Niswah