Ada dua kata pemantik semangat perjuangan yang senantiasa mengiringi langkah perjuangan para aktivis kampus, yaitu “Hidup Mahasiswa!”. Ada pula tiga kata lainnya yang menjadi harapan bagi seluruh rakyat Indonesia yang menumpukan harapannya pada mahasiswa-mahasiswa khususnya bagi kita yang menimba ilmu di kampus pendidikan, yaitu “Hidup Pendidikan Indonesia!”.
Baru-baru ini kampus kita sedang memanas akibat adanya keputusan dari para pejabat kampus yang menaikkan UKT dan menerapkan uang pangkal bagi mahasiswa yang masuk melalui jalur PENMABA yang jumlahnya pun tidaklah sedikit, yaitu Rp 15.000.000. Hal ini sontak memicu konflik internal yang kemudian berujung pada aksi di depan gedung rektorat pada hari senin tanggal 30 September 2016. Namun aksi ini bukanlah satu-satunya langkah yang ditempuh oleh mahasiswa, karena sebelumnya pun mahasiwa sudah banyak melakukan dialog dengan pihak rektorat namun masih belum menuai hasil. Akhirnya setelah aksi tersebut, keputusan untuk menaikkan UKT diurungkan dan hasil lengkapnya dapat dilihat di artikel berikut.
(Perjuangan Aliansi Mahasiswa UNJ Berhasil Hapus Uang Pangkal Dan Turunkan UKT)
Keputusan rektorat yang menaikkan UKT dan menerapkan uang pangkal bagi mahasiswa yang masuk melalui jalur PENMABA dinilai oleh mahasiswa sebagai tindakan “komersialisasi pendidikan”. Namun sadarkah bahwasanya sebagian dari kita pun sebenarnya juga terlibat dalam aksi-aksi “komersialisasi pendidikan” tersebut. Namun sebelumnya izinkan saya menyisipkan tulisan saya yang dulu dibuat untuk menggambarkan kondisi pendidikan bagi anak-anak di Indonesia berikut ini :
Menjalani hidup sebagai seorang siswa di Indonesia saat ini memang tidaklah mudah. Kami dipaksa untuk “menelan” seluruh mata pelajaran dan dipaksa untuk menjadi seorang superhero yang mampu menguasai semua hal tersebut. Belajar hingga sore dilanjutkan dengan les tambahan hingga sore bahkan terkadang malam, kemudian diakhiri dengan mengerjakan tugas yang seolah tak kunjung selesai. Yang dapat kami lakukan adalah menghadapinya dengan senyuman 🙂
Padahal orang-orang hebat terdahulu lahir karena mereka menekuni satu atau beberapa hal yang mereka sukai. Sehingga akhirnya kami seolah hanya menjadi “romusa pendidikan” yang hanya melakukan apa yang sebenarnya tidak ingin kami lakukan. Kami dijejali berbagai macam konsep yang hanya sebatas konsep tanpa mengetahui pengaplikasiannya. Kami dipaksa menghafal berbagai macam jenis rumus tanpa diajari rumus bagaimana untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sehingga akhirnya lahirlah generasi-generasi yang tidak lagi memiliki adab kepada gurunya karena yang mereka utamakan adalah bagaimana caranya bisa mendapatkan nilai yang bagus, bukan cara untuk mendapatkan ilmu yang berkah. Dan akhirnya lahir pula generasi yang korup karena kami hanya mempelajari suatu hal tapi tidak sedikit pun mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah pelajaran tentang kejujuran.
Tuntutan untuk menguasai seluruh mata pelajaran membuat siswa dan wali murid pun harus memutar otak supaya bisa mencapai target yang diberikan oleh guru. Akhirnya mengikuti les tambahan pun dipilih sebagai salah satu solusinya. Dan pada akhirnya pula secara perlahan-lahan mahasiswa disulap menjadi seorang “Penjual Ilmu”.
Hal ini saya sadari ketika beberapa waktu yang lalu menghadiri dialog mahasiswa Kimia FMIPA UNJ dengan Ketua Prodi dan perwakilan dosen Kimia FMIPA UNJ pada hari rabu tanggal 25 Mei 2016 yang lalu. Pada saat itu Ketua Prodi Pendidikan Kimia FMIPA UNJ, Ibu Dr. Maria Paristiowati, M.Si, yang menceritakan kegundahan para dosen akibat menurunnya minat para mahasiswa untuk menjadi asisten laboratorium. Padahal dulu ketika beliau masih menjadi seorang mahasiswa harus menjalani seleksi ketat untuk menjadi seorang asisten laboratorium. Hingga akhirnya beliau “menyentil” para mahasiswa dengan ucapan, “Oh apakah saat ini mahasiswa lebih tertarik untuk menjadi pengajar les yang bayarannya tinggi ketimbang menjadi seorang asisten laboratorium yang hanya dibayar dengan uang transport seadanya ya.”
Bagai petir di siang bolong, saya yang hadir saat itu pun menjadi terperangah. Karena memang faktanya saat ini banyak sekali mahasiswa yang menjadi guru les baik privat maupun bimbel untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau sekedar sebagai uang jajan tambahan. Demi kesenangan sesaat akhirnya menggadaikan prinsip sebagai seorang pengajar dengan cara menjadi seorang “Mahasiswa Penjual Ilmu”.
Sehingga bukan suatu hal yang mustahil akhirnya keikhlasan dalam menyebarkan ilmu di suatu tempat yang bayarannya kecil kemudian dengan mudahnya tergadaikan akibat pada saat yang bersamaan ada tawaran mengajar dengan bayarannya yang lebih tinggi. Ketika suatu ilmu dinodai dengan hal-hal yang sifatnya duniawi seperti harta, maka keberkahannya pun akan menghilang. Namun yang perlu digarisbawahi adalah tidaklah semua mahasiswa bersikap demikian.
Lewat tulisan ini saya ingin mengapresiasi kepada para mahasiswa yang masih dengan ikhlas mengajarkan adik-adiknya belajar membaca, berhitung, atau sekedar menemani bermain di sekitar kampus meskipun tidak mendapatkan bayaran. Atau juga bagi para mahasiswa yang masih dengan sabar mengajarkan Al-Qur’an kepada adik tingkatnya yang lantang ketika berorasi namun terbata-bata ketika membaca Al-Qur’an.
Lewat tulisan ini pula saya ingin berpesan sekaligus mengingatkan diri sendiri untuk kembali meluruskan niat ketika menjadi seorang guru atau tutor. Mari menjadi guru yang senantiasa terus belajar dan mau berkembang untuk melahirkan generasi-generasi yang tak hanya cerdas di bidang intelektual namun juga cerdas dalam hal spiritual. Mari menjadi guru yang senantiasa berupaya untuk menciptakan suasana yang kreatif dan kondusif agar murid-murid mampu mencerna pelajaran dengan baik meskipun terbentur dengan minimnya fasilitas. Mari menjadi guru yang benar-benar ikhlas untuk menyebarkan ilmu agar kelak lahir generasi yang mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Oleh : Firman Yulianto